Jumat, 30 Maret 2012

Dunia Kecil


Sekolah adalah poros dari segala rasa yang hinggap dalam hidupku. Paling tidak untuk saat ini. Aku menyebutnya: Dunia Kecil. Dunia yang selalu berwarna dan melahirkan banyak cerita untuk kita yang berada didalamnya nikmati. Seolah semua cerita sudah terangkai rapi seperti bunga di Toko Bunga, hanya tinggal memberikan pada siapa saja yang datang. Ya, siapa saja yang datang tanpa harus membawa lembaran uang ataupun kepingan berarti.

Dunia Kecil yang siap menyedotmu kedalamnya untuk kau nikmati segala sesuatu yang ada disana. Disana kau hanya diberi waktu seadanya, sesuai yang dirumuskan. Jika saatnya tiba, seperti nafas yang tak selamanya menemani rongga hidungmu, kau akan keluar. Keluar dari dunia kecil yang selalu melahirkan cerita Indah yang nantinya akan kau sebut mereka kenangan karena waktu yang tak bisa kau tahan gerakannya. Dan saat itu telah tiba untukku. Aku berharap semoga tidak ada tambahan waktu untukku untuk lebih lama lagi disini. Memang indah ceritanya, tapi aku benar-benar harus bergegas menyambut dunia yang lainnya yang juga sedang menungguku. Aku tahu itu.

#CeritaHariIni. Simaklah. 

Hari ini semua akan berbeda. Ya, semuanya. Hari ini sudah kami tunggu datangnya. Hari berarti dimana kepergian kami akan ditentukan oleh secarik kertas. Bukan. Bukan kertas itu yang akan mengubah kami, tapi sebuah kata yang tertera didalamnya yang akan mengizinkan kami pergi dari dunia kecil ini. Ya. Sebuah kata yang tersusun rapi oleh lima huruf yang tegak berdiri. Dua huruf berulang dan satu huruf mengakhiri. Kalian pasti tahu maksudku.

Kata itu yang kami semua harapkan tertera didalamnya. Hanya kata itu, tidak perlu ada kata lain yang menemani. Cukup itu saja.
Dunia kecil ini sedang diselimuti hening. Hening yang menyimpan segala cerita masing-masing dari kami. Hening yang penuh doa orang-orang tua juga para pahlawan tanpa tanda jasa. Hening yang dikelilingi harapan atas perjuangan. Hening yang berarti.
Masih ada 10 menit lagi pengumuman akan dilaksanakan. Tapi semua sudah rapi. Lantai aula yang juga kecil hari ini terlihat lebih bersih dari biasanya. Diatasnya, tertata dengan begitu rapi, sebaris dengan warna selaras, bangku-bangku itu, bangku sekolah. kemudian meja panjang didepan. Juga sound system yang akan membantu suara apapun agar terdengar lebih keras dari biasanya. Hari ini memang penting. Hanya terjadi setiap beberapa tahun sekali.

Masih ada 10 menit. Ku ajak kakiku untuk sekedar mengelilingi Dunia Kecil kami. Dalam perjalanan singkat ini, ku lemparkan pandanganku ke segala penjuru, menerobos masuk ke dalam ruangan-ruangan kecil, juga setiap sudut dimana ada kenangan menari disana, bernyanyi mengibur setiap orang yang melihatnya. Pandanganku tiba-tiba terhenti oleh sebuah pandangan menarik, kulihat ada sebuah bangku yang menyendiri dari kerumunan sesamanya. Hanya ada dia sendiri di belakang sini. Perlahan kudekati dirinya, mendudukinya, lalu kemudian memandang langit siang hari, juga dunia kecil ini sepanjang yang terjangkau oleh mataku. Kutarik napasku perlahan dengan hikmat, lalu mengeluarkannya juga perlahan. Aroma dunia ini, aku ingin menghirupnya sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sudah waktunya. Aku berjalan kembali ke aula tempat semua bersarang memanjatkan doa didalam hati.

Kali ini aula lebih hening dari yang tadi. Lalu akhirnya, kepala sekolah selaku presiden dari Dunia kecil ini memulai pembicaraan, kemudian juga guru disebelahnya, lalu yang disebelahnya lagi. Tak ada yang membuat gaduh kali ini, tak seorangpun dari kami. Tak seperti biasanya. Ya, memang hari ini berbeda.

Acara talk-show sudah selesai. Kini tiba pada saat yang sangat dinanti. Dibagikannya orang tua dari kami sebuah amplop yang didalamnya bersembunyi secarik kertas kecil yang diatasnya tertera sebuah kata yang paling berarti dari kata apapun saat ini.

“Dalam hitungan ketiga, Bukalah!”

Kepala sekolah memimpin, dalam hitungan ketiga, kami membuka amplop itu, membuka perlahan karena sebenarnya rasa takut itu tetap bersemayam disamping rasa bahagia kami. Berdampingan.

“LULUS”

Kurasakan pelukan hangat dari ibuku, benar-benar hangat, tangisnya benar-benar melumpuhkanku. Aku pun hanya bisa menangis dalam dekapnya. Kulihat hal yang sama terjadi di aula ini. Segala bentuk ekspresi haru ada disini. Aku tidak bisa menjelaskan lagi. Kucari semua temanku, dan berpelukanlah kami. Dalam tangis bahagia. Kucari seluruh guru yang mengajariku selama tiga tahun ini, ku peluk mereka, dalam haru tak terjelaskan. Aula yang tadinya hening tanpa hingar itu, kini gaduh oleh suara-suara bahagia dari semua yang berada disini.

Semua sedang sibuk melukis seragamnya masing-masing. Kami semua. Setelah mendapati segala bentuk coretan di seragamku. Ku ajak kembali kakiku berjalan menyusuri dunia kecil ini. Kali ini dengan tatapan lebih bahagia dari yang tadi. Aku akan merindukan segalanya. Lantai ini, halaman ini, kelas ini, seragam ini, orang-orang didalam sini, semua yang terjadi disini, kenangan ini. Benar-benar menakjubkan. 3 tahun yang kupikir akan sangat lama itu kini terasa sangat singkat. Aku baru saja menerima izin untuk segera meninggalkan dunia kecil ini. Masih berjalan menyusurinya, kudapati bangku itu lagi. Masih berada disitu. Belum berpindah sedikitpun.


“Kamu benar-benar sangat berjasa.”

Ucapku pada bangku itu. Aku tahu ia mendengar, hanya tidak bisa untuk berbicara. Oh tidak. Ia bisa berbicara, hanya saja aku yang tak akan mendengarnya apalagi untuk paham.
Sebenarnya ada yang lebih berjasa dari ini, tapi aku selalu menghargai Benda mati yang satu ini. Ia sungguh sangat penolong dalam segala hal, dengan ikhlas dia terima saja diduduki kami semua, ditimpah oleh organ tubuh kami yang... yang... ah sudahlah. Ha ha ha. Bayangkan jika tidak ada dia di dalam dunia kecil ini, aku bisa apa? Penduduk di dalam dunia ini bisa apa? Tentu kami tidak bisa duduk dilantai yang bahkan bukan lantai marmer itu. Meski tua tubuhnya, ia tetap bertahan menahan beban berat tubuh kami yang jika saat duduk bertumpu pada satu yang menempel padanya. Tidak peduli ada berapa nakal atau hanya iseng saja murid-murid itu mencorat-coret tubuhnya, ia tetap selalu menjadi penopang kami. Selalu menjadi tempat yang selalu membawa “Ah-Akhirnya” saat kami lelah selesai bekerja bakti atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Ia selalu menjadi tempat tujuan. Meski kadang ia ditendang, diinjak dengan telapak sepatu kotor penuh debu, ia selalu ada disana. Belum lagi kalau ada murid yang tak tahu sopan, buang angin diam-diam. Hanya dia, bangku itu, juga Tuhan yang tahu. Tidak peduli apa yang menimpanya setiap hari. Ia tetap seperti itu setipa hari. Patuh. Meski kutahu ia tak benar-benar mati. Aku percaya mereka berbicara. Dengan bahasa yang sudah pasti takan pernah kami dengar atau bahkan kami mengerti.

“Aku akan merindukanmu. Sebab diluar sana tidak akan ada yang sepertimu. Bangku Sekolah.”

Jumat, 23 Maret 2012

Sihir Cinta.


Aku masih disini, sendiri di tempat yang sama sejak.. sejak daritadi. Maksudku daritadi adalah porsi waktu yang cukup lama. Ya, cukup lama. Duduk tanpa teman yang bisa diajak bercerita sudah biasa untuk ku. Aku bisa duduk nyaman berjam-jam tanpa siapapun dihadapanku ataupun disampingku. Bukan. Bukan tidak ada yang mau membuang sedikit waktunya untuk berbicara denganku, bukan juga karena aku tidak punya satupun teman disini. Hanya saja, aku lebih nyaman sendiri tanpa siapapun. Bukan berarti aku tidak ingin bergaul dengan yang lainnya, bukan ingin menjadi berbeda dan tak mau menjadi bersosialisasi seperti yang lainnya. Aku hanya, menikmati sepi tanpa hingar, aku juga tidak begitu menyukai keramaian. Aku lebih menikmati duduk sendiri dengan membaca buku daripada mengobrol soal pacar ataupun sale di mall dengan teman-teman perempuanku. Anehkah ? entahlah.

Aku melihat jam tanganku, 18 menit lagi tepat satu jam aku duduk disini. Tebak berbuat apa ? hanya untuk memandangi orang itu dari titik yang (lumayan) dekat dengannya. Bodohkah memandangi seseorang selama hampir satu jam hanya untuk melepas rindu ? entahlah.

Jadi, #CeritaHariIni masih tentang “Rindu”.

Biasanya aku duduk disini ditemani sebuah buku. Hari ini tidak, aku mendedikasikan waktuku kali ini hanya untuk melihatnya. Sudah 2 hari aku tidak bertemu dengannya. Entahlah, aku mencarinya tapi dia seperti menghilang. Dan kali ini ada kesempatan bertemu dengannya, tentu saja aku tidak akan melewatkannya. Tidak sekalipun. Karena aku, merindunya. Seperti rindu tanah kering pada hujan yang tak kunjung datang.

Sudah 42 menit yang kulakukan hanya terus memandanginya, melihatnya berbicara dengan orang itu. Mengamati cara dia bertutur kata, cara dia tersenyum dan tertawa dengan orang itu. Tidak apa dia bukan disampingku, tidak apa dia bukan milikku. Asal setiap aku memandang mencarinya titiknya, aku selalu menemukannya, asal setiap aku berbalik belakang, dia selalu ada disitu. Itu sudah cukup. ya cukup.

Bukankah cinta tidak selalu saling memiliki ?

Aku masih melamun, seperti terkena hipnotis olehnya, oleh gerak-geriknya.

“DHEG. DHEG. DHEG”

Kurasakan debar yang hampir tak bisa kubendung. Dia. akhirnya memandang ke arahku, dengan senyum dan lambaian tangan khasnya. Aku kaget, lamunanku buyar. Sekarang aku pasti terlihat bodoh didepannya.
Senyum itu yang selalu membuatku luluh, yang selalu membuatku tak bisa selalu tepat akan membalas apa. Senyumnya seperti sihir. Sihir Cinta.

Aku akhirnya membalas senyumnya dengan sedikit wajah yang entah seperti apa sekarang. Tidak bisakah dia mengatakan terlebih dahulu bahwa dia ingin tersenyum padaku ? hanya agar aku bisa menyiapkan balasan seperti apa yang paling tepat. Ha-ha-ha gila. Aku pasti sudah gila.

Setelah melemparkan senyuman maut kepadaku, ia kembali berpaling pada orang didepannya, kembali dengan cerita mereka.

Aku hanya bisa memandanginya lagi, menyisakan senyum khas di bibirku.
Andai aku yang ada disana, didepannya. Tapi kenyataan menyadarkanku, bahwa disinilah aku.

Bagiku, untuk orang dewasa, senyum tidak selalu berarti bahagia. Orang dewasa yang tersenyum bisa saja untuk menutupi segala bentuk rasa kecewa, sedih atapun rasa sakit. Tersenyum seperti itu rasanya menyakitkan, aku tau pasti rasanya. Sebab sejak menaruh perasaan ini padanya, aku sering melakukannya. Tidak peduli ada seberapa sakit luka dibaliknya, aku tetap tersenyum. Selalu seperti itu.

Kalian tahu apa yang paling menyedihkan dari sebuah senyuman ?
Pertama adalah menyadari bahwa kalian tidak benar-benar ingin tersenyum. Dan yang kedua adalah luka tak terjelaskan dibalik senyum itu sendiri.

Semoga nanti, entah kapan, akan ada ruang untukku dan cintakku di dalam hatinya. Hingga aku akan tersenyum kepadanya, layaknya makna senyum yang sebenar-benarnya. Senyum bahagia.