Sekolah adalah poros dari segala rasa yang hinggap dalam hidupku. Paling tidak untuk saat ini. Aku menyebutnya: Dunia Kecil. Dunia yang selalu berwarna dan melahirkan banyak cerita untuk kita yang berada didalamnya nikmati. Seolah semua cerita sudah terangkai rapi seperti bunga di Toko Bunga, hanya tinggal memberikan pada siapa saja yang datang. Ya, siapa saja yang datang tanpa harus membawa lembaran uang ataupun kepingan berarti.
Dunia Kecil yang siap menyedotmu kedalamnya untuk kau nikmati segala sesuatu yang ada disana. Disana kau hanya diberi waktu seadanya, sesuai yang dirumuskan. Jika saatnya tiba, seperti nafas yang tak selamanya menemani rongga hidungmu, kau akan keluar. Keluar dari dunia kecil yang selalu melahirkan cerita Indah yang nantinya akan kau sebut mereka kenangan karena waktu yang tak bisa kau tahan gerakannya. Dan saat itu telah tiba untukku. Aku berharap semoga tidak ada tambahan waktu untukku untuk lebih lama lagi disini. Memang indah ceritanya, tapi aku benar-benar harus bergegas menyambut dunia yang lainnya yang juga sedang menungguku. Aku tahu itu.
#CeritaHariIni. Simaklah.
Hari ini semua akan berbeda. Ya, semuanya. Hari ini sudah kami tunggu datangnya. Hari berarti dimana kepergian kami akan ditentukan oleh secarik kertas. Bukan. Bukan kertas itu yang akan mengubah kami, tapi sebuah kata yang tertera didalamnya yang akan mengizinkan kami pergi dari dunia kecil ini. Ya. Sebuah kata yang tersusun rapi oleh lima huruf yang tegak berdiri. Dua huruf berulang dan satu huruf mengakhiri. Kalian pasti tahu maksudku.
Kata itu yang kami semua harapkan tertera didalamnya. Hanya kata itu, tidak perlu ada kata lain yang menemani. Cukup itu saja.
Dunia kecil ini sedang diselimuti hening. Hening yang menyimpan segala cerita masing-masing dari kami. Hening yang penuh doa orang-orang tua juga para pahlawan tanpa tanda jasa. Hening yang dikelilingi harapan atas perjuangan. Hening yang berarti.
Masih ada 10 menit lagi pengumuman akan dilaksanakan. Tapi semua sudah rapi. Lantai aula yang juga kecil hari ini terlihat lebih bersih dari biasanya. Diatasnya, tertata dengan begitu rapi, sebaris dengan warna selaras, bangku-bangku itu, bangku sekolah. kemudian meja panjang didepan. Juga sound system yang akan membantu suara apapun agar terdengar lebih keras dari biasanya. Hari ini memang penting. Hanya terjadi setiap beberapa tahun sekali.
Masih ada 10 menit. Ku ajak kakiku untuk sekedar mengelilingi Dunia Kecil kami. Dalam perjalanan singkat ini, ku lemparkan pandanganku ke segala penjuru, menerobos masuk ke dalam ruangan-ruangan kecil, juga setiap sudut dimana ada kenangan menari disana, bernyanyi mengibur setiap orang yang melihatnya. Pandanganku tiba-tiba terhenti oleh sebuah pandangan menarik, kulihat ada sebuah bangku yang menyendiri dari kerumunan sesamanya. Hanya ada dia sendiri di belakang sini. Perlahan kudekati dirinya, mendudukinya, lalu kemudian memandang langit siang hari, juga dunia kecil ini sepanjang yang terjangkau oleh mataku. Kutarik napasku perlahan dengan hikmat, lalu mengeluarkannya juga perlahan. Aroma dunia ini, aku ingin menghirupnya sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sudah waktunya. Aku berjalan kembali ke aula tempat semua bersarang memanjatkan doa didalam hati.
Kali ini aula lebih hening dari yang tadi. Lalu akhirnya, kepala sekolah selaku presiden dari Dunia kecil ini memulai pembicaraan, kemudian juga guru disebelahnya, lalu yang disebelahnya lagi. Tak ada yang membuat gaduh kali ini, tak seorangpun dari kami. Tak seperti biasanya. Ya, memang hari ini berbeda.
Acara talk-show sudah selesai. Kini tiba pada saat yang sangat dinanti. Dibagikannya orang tua dari kami sebuah amplop yang didalamnya bersembunyi secarik kertas kecil yang diatasnya tertera sebuah kata yang paling berarti dari kata apapun saat ini.
“Dalam hitungan ketiga, Bukalah!”
Kepala sekolah memimpin, dalam hitungan ketiga, kami membuka amplop itu, membuka perlahan karena sebenarnya rasa takut itu tetap bersemayam disamping rasa bahagia kami. Berdampingan.
“LULUS”
Kurasakan pelukan hangat dari ibuku, benar-benar hangat, tangisnya benar-benar melumpuhkanku. Aku pun hanya bisa menangis dalam dekapnya. Kulihat hal yang sama terjadi di aula ini. Segala bentuk ekspresi haru ada disini. Aku tidak bisa menjelaskan lagi. Kucari semua temanku, dan berpelukanlah kami. Dalam tangis bahagia. Kucari seluruh guru yang mengajariku selama tiga tahun ini, ku peluk mereka, dalam haru tak terjelaskan. Aula yang tadinya hening tanpa hingar itu, kini gaduh oleh suara-suara bahagia dari semua yang berada disini.
Semua sedang sibuk melukis seragamnya masing-masing. Kami semua. Setelah mendapati segala bentuk coretan di seragamku. Ku ajak kembali kakiku berjalan menyusuri dunia kecil ini. Kali ini dengan tatapan lebih bahagia dari yang tadi. Aku akan merindukan segalanya. Lantai ini, halaman ini, kelas ini, seragam ini, orang-orang didalam sini, semua yang terjadi disini, kenangan ini. Benar-benar menakjubkan. 3 tahun yang kupikir akan sangat lama itu kini terasa sangat singkat. Aku baru saja menerima izin untuk segera meninggalkan dunia kecil ini. Masih berjalan menyusurinya, kudapati bangku itu lagi. Masih berada disitu. Belum berpindah sedikitpun.
“Kamu benar-benar sangat berjasa.”
Ucapku pada bangku itu. Aku tahu ia mendengar, hanya tidak bisa untuk berbicara. Oh tidak. Ia bisa berbicara, hanya saja aku yang tak akan mendengarnya apalagi untuk paham.
Sebenarnya ada yang lebih berjasa dari ini, tapi aku selalu menghargai Benda mati yang satu ini. Ia sungguh sangat penolong dalam segala hal, dengan ikhlas dia terima saja diduduki kami semua, ditimpah oleh organ tubuh kami yang... yang... ah sudahlah. Ha ha ha. Bayangkan jika tidak ada dia di dalam dunia kecil ini, aku bisa apa? Penduduk di dalam dunia ini bisa apa? Tentu kami tidak bisa duduk dilantai yang bahkan bukan lantai marmer itu. Meski tua tubuhnya, ia tetap bertahan menahan beban berat tubuh kami yang jika saat duduk bertumpu pada satu yang menempel padanya. Tidak peduli ada berapa nakal atau hanya iseng saja murid-murid itu mencorat-coret tubuhnya, ia tetap selalu menjadi penopang kami. Selalu menjadi tempat yang selalu membawa “Ah-Akhirnya” saat kami lelah selesai bekerja bakti atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Ia selalu menjadi tempat tujuan. Meski kadang ia ditendang, diinjak dengan telapak sepatu kotor penuh debu, ia selalu ada disana. Belum lagi kalau ada murid yang tak tahu sopan, buang angin diam-diam. Hanya dia, bangku itu, juga Tuhan yang tahu. Tidak peduli apa yang menimpanya setiap hari. Ia tetap seperti itu setipa hari. Patuh. Meski kutahu ia tak benar-benar mati. Aku percaya mereka berbicara. Dengan bahasa yang sudah pasti takan pernah kami dengar atau bahkan kami mengerti.
“Aku akan merindukanmu. Sebab diluar sana tidak akan ada yang sepertimu. Bangku Sekolah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar