Selasa, 29 November 2011

Maafkan, aku...

"Maafkan aku, hanya saja aku terlanjur menyukai orang lain di waktu yang sama saat kau tetap memendam rasa itu. Sudah lama bukan, kau membiarkannya bersemayam dihati mu? Yaa, ku rasa saat itu aku terlanjur menyukai orang lain..."

Masih ku ingat kata-kata itu, saat dengan getir ku katakan padanya aku menyukainya. Tapi, dengan cukup lantang ia mengatakan maaf itu. Sakit sekali saat mengetahui kenyataan bahwa mencintai seseorang tetapi orang tersebut justru mencintai orang lain.

Sesaat setelah ia mengatakan kalimat itu, kami hanya diam. diam tanpa satu katapun keluar dari mulut kami masing-masing. Hening. sementara diluar sana, hujan deras sedang membasahi ibukota. ingin sekali aku menangis sebagai bentuk rasa sakit yang tidak tertahankan ini. tapi, sudahlah. toh klenyataan akan tetap seperti itu, tidak akan berubah.

Hujan ini...

Deras sekali hujan hari ini, sudah berhari-hari seperti ini. tapi, aku tetap saja mengatakan hal yang sama di setiap harinya.
"Hujannya deras sekali..."

Hari ini, aku mengatakannya lagi. dibawah sisa atap Toko Buku langganan ku. yaa, aku terperangkap hujan deras ini, disini. sudah cukup lama, tapi aku terus berdiri disini, sesekali ku ayunkan tangan kecil ku pada rinai hujan yang deras itu. sesekali aku menengadah keatas untuk menatap langit saat hujan turun. Indah, putih, sepereti kapas.

lantas sesaat aku teringat peristiwa hangat kecil 4tahub silam, entah mengapa peristiwa itu sangat jelas dipikiran ku. aku tersenyum.

4tahun yang lalu, aku juga terjebak hujan di tempat ini, di Toko Buku ini. hanya saja, waktu itu aku bersama sosok pria yang juga dengan sialnya terjebak hujan mendadak saat itu. ditemani rinai hujan deras itu, aku dan orang itu seperti anak-anak memainkan air hujan yang indah itu. masih ku ingat dengan lembutnya, dia memberi tahu namanya dengan sedikit tersipu.
"Dimas, namaku..."
lalu aku tertegun mendengar suara lembut yang mendadak itu, ku tatap dirinya sesaat setelah suara itu, lalu aku tertawa. Kami... kami tertawa geli bersama dengan malu yang tidak bisa bersembunyi di wajah kami, bersama hujan yang tak kunjung berhenti, sore itu.

Siapa seseorang itu ?

Kamu sendiri ngapain disini?” ia mulai bertanya padaku.
Ah ini, aku mau memasukan tugas. Hari ini hari terakhir pengumpulannya” balas ku sembari membuka-buka buku yang dibawa Nina.
Setelah itu, suasana menjadi hening, cukup lama sehingga aku merasa bosan dan memutuskan untuk meninggalkan Nina dan segera mengantarkan tugas ku pada ketua tingkat kelas ku.

45 menit kemudian aku kembali ditempat yang sama, Nina masih ada, disana.
Belom pulang, Nin?” tanya ku.
Aku sedang menunggu, seseorang...” jawabnya dengan santai dan menutup buku yang sedari tadi dibacanya.
Siapa?” tanya ku dengan sedikit kaget, Nina sedang menunggu seseorang, bathinku.
Teman ku, aku janji akan pulang dengannya. Maaf ya, aku hari ini absen dianterin kamu dulu, gapapa kan?” Jawabnya, selalu saja dengan tersenyum. Aku tidak mengerti mengapa Nina selalu tersenyum seperti itu, dia tidak tahu, senyum itulah yang selalu membuat hatiku berdebar dan pernah sekali tak bisa ku bendung degupannya.
Oh, oke. Aku juga mungkin masih akan lama disini...” balas ku.
Ponsel Nina berdering, sepertinya ada pesan masuk, dan benar saja. Setelah membaca pesan itu, Nina pamitan pada ku untuk pulang duluan. Aku mengiyakan sembari bertanya dalam hatiku.

Ini tidak biasanya, siapa orang yang ditunggu Nina? Siapa yang berjanji pulang dengannya? Teman perempuankah? Atau seorang lelaki?” ah, aku benar-benar tidak tahu. Sesaat kemudian, lamunan ku buyar oleh suara dari arah belakang ku yang meneriakkan namaku.

****

(Sudut pandang, Nina)

Kita mau kemana?” tanyaku dengan wajah ceria.
Seperti janji kemarin, kita nonton dulu, eh tapi kamu udah makan?” tanya orang itu.
Jujur saja, cacing-cacing di perutku sudah berdemo dari sejam yang lalu...” jawab ku sedikit bercanda.
hahaha, kalau begitu kita makan dulu, setelah itu baru nonton. Aku tidak mau kau mengacaukan seisi bioskop dengan berteriak sakit perut karena belum makan siang ini”
Lalu kami tertawa dalam hening yang kami ciptakan sendiri.

****

Thanks buat hari ini, ya...” ucap ku kepada orang itu.
Sama-sama, aku juga makasih sama kamu.” jawabnya dengan senyuman. Ah aku menyukai senyuman itu. Senyum yang selalu ingin ku lihat sejak semester kemarin. Aku, menyukai orang itu.

Dia lalu pamit pulang, aku pun masuk, kedalam rumah ku yang besar ini, rumah ku yang selalu sunyi, rumah ku tempat ibu dan aku melewati tahun ke tahun sejak perceraian itu. Hanya ada aku, Ibu dan juga orang-orang yang ku hormati, Bibi yang setiap harinya membuatkan aku dan ibu sarapan dan makan malam, juga merawat rumah ini, Pak Imin yang setiap harinya membersihkan halaman rumahku, dan juga Pak Salim yang menjadi supir kemanapun ibu dan aku pergi.

Ibu selalu mengajarkan ku untuk selalu menghargai dan menghormati mereka, ibu pernah berkata “Jangan pernah kamu melihat mereka sebagai pembantu dirumah ini, lihatlah mereka sebagai orang tua seperti ibu yang harus kau hormati”. Ibu memang wanita yang baik, aku bahkan tidak mengerti mengapa perceraian itu terjadi. Tapi, ku putuskan untuk tidak memikirkannya lagi, karena aku tahu ada hal yang memang mungkin tidak akan dimengerti oleh pikiran ku.

*****

Rabu, 23 November 2011

Nina, sahabat ku...

Siang itu kampus terlihat sepi, biasanya jam segini banyak sekali mahasiswa yang berkeliaran di seluruh penjuru kampus dengan kegiatannya masing-masing. Mungkin karena cuaca yang tidak mendukung. Yaa, hujan baru saja reda, yang tersisa hanyalah gerimis kecil yang cukup membuat basah jika berjalan dibawahnya tanpa perlindungan.

Aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiswa yang mendadak menghilang hari ini. Tapi, sayang aku harus datang ke kampus karena ada tugas yang harus dikumpulkan sore ini sebelum Ashar. Sekarang sudah pukul 14.47 WITA.

Ku susuri jalan menuju gedung fakultas ku dengan setengah berlalri, berlindung dibawah jas almamater yang semenjak tadi sudah ku jadikan payung. Jarak untuk sampai ke gedung fakultas sudah lumayan dekat tapi ku hentikan langkah ku untuk sekedar melihat apakah yang duduk disudut sana itu, temanku. Ternyata benar, penglihatan ku memang selalu benar. Itu, Nina.

Sahabat ku, Nina namanya. Sahabatku sejak SMA dulu. Kebetulan kami berada dalam satu wadah pendidikan yang sama, lagi. Hanya saja, Nina adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 4 dan aku mahasiswa FISIP dengan semester yang sama. Walaupun tidak berada di gedung yang sama, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk sekedar makan ataupun ngobrol bersama. Sampi saat ini, itulah yang menjadi kebiasaan kami di kampus. Nina dulu adalah orang pertama yang ku kenal saat SMA, dia adalah orang pertama yang dengan senang hati mengulurkan tangannya ketika aku mengatakan “Hai…”, dia juga selalu menjadi orang pertama yang ingin ku tanyakan pendapatnya jikalau ada sesuatu yang mengganjal dipikiran ku. Dan samapi sekarang, masih seperti itu. Nina adalah gadis terbaik yang pernah kutemui saat itu hingga sekarang, dia cantik, senyumnya menawan, ramah dan cukup pintar. Aku sampai bingung, ibunya makan apa sampai bisa melahirkan anak sebaik dan sepintar dia.
Ku rasa sudah cukup bercerita tentang Nina.

Aku melanjutkan langkah ku, kali ini bukan untuk ke fakultas tetapi ke tempat dimana Nina duduk dengan buku-bukunya.

Hei, serius bener. Ngapain sih sendirian disini?” aku memulai basa-basi ku.
Ah, kamu res. Biasalah…” jawab Nina dengan masih membaca bukunya.
Aku memang tau kebiasaannya, kalau kelas sudah selesai, Nina pasti mencari tempat nyaman selain perpustakaan untuknya membaca buku. Aku juga tidak mengerti kenapa Nina tidak pernah membaca buku di perpustakaan, selain dia tidak mengatakannya, aku juga tidak bisa menerka alasannya. Tapi, ini salah satu alasan mengapa aku ber-empati kepadanya, Karena ia berbeda dari gadis lain sebayanya yang menghabiskan waktu dan uangnya di Mol. Bukan karena dia tidak punya uang, jujur saja Nina adalah anak salah satu konglomerat di Indonesia, ibunya seorang pengcara. Hanya saja, mereka sudah bercerai sejak Nina kelas 3 SMP. Iyaa, nina adalah salah satu dari sekian banyak anak broken home. tapi itu lantas tidak membuatnya terjerumus pada lingkungan pelarian yang banyak anak-anak lainnya lakukan. Ia cukup dewasa menangani masalah itu, dan ini juga salah satu mengapa aku ber-empati padanya. Ada banyak alasan mengapa aku ber-empati padanya.
Sejak SMA, kami memang sudah dekat oleh karena itu aku tau banyak tentangnya. Dia juga tau banyak tentang ku.