Jumat, 06 April 2012

Buku Baru


Kala itu di suatu pagi saat matahari tengah naik untuk lebih menyinari isi bumi. Aku hendak berjalan, menyusuri jalanan ibukota yang masih pagi sekali sudah sangat sibuk dan gaduh. Suara klakson dimana-mana, polusi yang ditimbulkan bajaj, motor, dan kenderaan lainnya mengepul menyatu. Menyesakkan jika menghirupnya. Saat itu benda-benda mati yang kerap menjadi alat untuk menuju kemana saja itu ‘stuck’ pada tempatnya, berpindah tempat centi demi centi, membuat gerah, marah, dan kesal para orang-kaya. Tapi, ini ibukota. Ya, ibukota. Sejak pertama kali turun ke jalanan, aku dengan cepat mengerti bagaimana cara jalanan ibukota dipermainkan manusia-manusia itu. Bagaimana jalanan ibukota hampir tidak bisa menampung semua benda-benda mati berjalan itu dalam waktu tertentu.

Memuakkan.

#CeritaHariIni tentang tempat yang kebetulan ku lewati saat mencari keping-keping uang juga lembaran berarti. Tempat yang kali pertama kulihat begitu ramainya. Memang riuh, namun rasanya mendamaikan. Memang banyak yang menghuni, namun seperti menyenangkan berada disana. Kala itu, dengan seonggok perasaan ingin tahu, aku berjalan mendekat pada tempat itu. Lebih dekat dan akhirnya menjadi sangat dekat. Kupandangi mereka, kucermati bagaimana mereka bertingkah. Mereka yang ceria, mereka yang rapi, berseragam sewarna dan selaras. bersepatu bersih, juga memakai dasi merah kecil. Persis seperti lelaki bertubuh gagah yang kerap kutemui didalam kenderaan beroda empat saat meminta apa yang semua orang (sangat) butuhkan untuk bertahan hidup di ibukota. Memakai dasi. Hanya saja dasi orang-orang ini berwarna sama. Aku tersenyum melihat betapa girangnya mereka. aku bahkan tertawa saat kulihat ada beberapa orang yang berlarian lalu entah apa sebabnya satu orang didepan jatuh lalu disusul oleh mereka yang dibelakang. Mungkin terkilir. Mungkin disengaja. Mungkin memang peraturannya seperti itu. Entahlah.

Sejak saat itu, tempat itu berhasil menduduki posisi pertama daftar tempat yang ingin ku kunjungi setiap harinya. Menggeser Dunia Fantasi sebagai pemilik lama posisi pertama.
Keesokan harinya, dengan membawa lebih dari seonggok perasaan ingin tahu. Aku kembali ke tempat itu, melihat pemandangan yang masih sama dengan hari kemarin. Rupanya ini yang bernama Sekolah. Sekolah tempat orang-orang belajar menimba ilmu pertama kali. Sekolah Dasar kata ibuku semalam. Ya. Aku menceritakan tentang tempat ini padanya, kukatakan pada wanita yang sangat ku hormati itu tentang betapa menyenangkan tempat itu. Aku menceritakan  semua yang kulihat padanya. Pada Ibuku. Satu-satunya yang kumiliki.

“Ibu... tadi saat di jalanan, aku tidak sengaja melewati sebuah tempat. Tempat itu sangat menyenangkan, melihat cara mereka tertawa menikmati yang mereka lakukan. Mereka berpakaian sama, Bu. Warnanya sama seperti warna daster ibu ini. Memakai dasi juga sepatu bagus. Sangat rapi. Sangat beda denganku. Disana ada banyak ruang, ada banyak tanaman, ada sebuah tiang bendera juga ada lapangan besar. Itu tempat apa, Bu? Aku ingin sekali masuk kesana. Bisakah aku?"

Ku ceritakan panjang lebar pada Ibuku yang terbaring lesu diatas tumpukan lembaran kardus kasar. Ibuku sudah lama sakit. Untuk bangun dari kardus tempat beliau tidur saja kadang seperti tidak mungkin. Tetapi ia selalu mendengarkan cerita-cerita yang kubawa saat pulang.
Dengan lemah Ibuku menjawab:

“Itu Sekolah, nak. Sekolah Dasar. Tempat orang-orang belajar pertama kali. Sayang, untuk masuk kesana, kamu harus punya apa yang menjadi syarat. Dan Ibu tidak bisa memberikan itu. Maafkan ibu...”

Begitu percakapan kami semalam. Ibuku meminta maaf karena beliau tidak bisa membuat aku bisa masuk kesana. Ke sekolah itu. Aku masih tidak paham dengan apa yang diharuskan itu. Sebab saat aku ingin bertanya lagi, ibuku terlihat terlalu lemah untuk berbicara banyak. Kuputuskan untuk nanti saja kutanyakan, saat aku bisa membelikan Ibu obat, lalu ia bisa meminumnya dan punya tenaga walau sedikit. Aku butuh Ibu dalam hidupku.

Saat ini tempat itu sedang diliputi hening. Entahlah, saat mendengar bunyi lonceng yang entah darimana datangnya, mereka berhenti bermain dan bergegas masuk ke ruangan-ruangan itu. Aku semakin penasaran, lagi-lagi dengan bermodal perasaan ingin tahu, aku mencari-cari celah agar aku bisa melihat sedang apa mereka didalam sana. Aku benar-benar ingin tahu. Dan, BINGO! Kudapati sebuah celah kecil pada dinding belakang ruangan tempat mereka masuk tadi. Celah kecil yang sangat ku syukuri karena dengan ini aku bisa melihat apa yang mereka lakukan didalam sini. Memang sulit, tapi aku begitu menikmatinya. Mereka sedang belajar. Rupanya ini yang namanya belajar, menimba ilmu. Duduk rapi dan cukup dengarkan apa yang wanita seperti Ibuku itu katakan. Samar-samar aku mendengar suara wanita didepan ruangan itu.

Besoknya lagi. Aku kembali ke tempat ini, kali ini dengan sebuah buku tulis tipis yang tidak sengaja kutemukan di tempat sampah dekat rumah kardusku. Kemarin aku melihat mereka menulis pada buku seperti ini menggunakan seperti kayu lurus kecil yang akhirnya ku tahu bahwa itu sebuah pensil. Alat untuk menulis. Dan kini, disinilah aku sekarang. Dibalik dinding putih yang kini pudar oleh waktu. Mendengar, melihat, menulis, memahami seperti yang mereka lakukan didalam sana. Kegiatan ini terus kulakukan setiap hari. Sampai pada satu hari aku kembali kesini namun tidak kudapati mereka didalam sana. Rupanya hari minggu sekolah libur. Kata Ibuku. Aku pulang dengan kecewa.

Namun setelah itu, aku mengerti, aku sudah hafal hari-hari dimana mereka tidak pergi ke sekolah. Aku datang pagi sekali, bahkan saat mereka belum kelihatan seorangpun. Namun saat kembali, aku kembali dalam waktu yang sama seperti mereka. begitu seterusnya. Sampai pada satu pagi di suatu hari. Aku sedang mendengarkan apa yang Guru (Akhirnya aku tahu bahwa wanita itu seorang Guru. Seseorang yang mengajarkan pelajaran) itu terangkan didepan. Lalu dengan kagetnya aku, saat kurasakan sebuah tangan memenuhi pundak kecilku. Ia sedang berdiri dihadapanku. Dengan senyum yang merekah. Ia memberikanku sebuah Buku Baru. Orang itu, salah satu murid di Sekolah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar