Sabtu, 31 Desember 2011

#cumanaksirunite

“LOLIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII. LOLIPOOOOOOOOOOOOOP. LOLITAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Hosh. Hosh. Hosh. Hosh.

“Fallaaaaaaaa! Kamu bisa diem nggak sih ?! aku maluuuuu dilietin banyak orang disini. ERRR! Kamu tuh bisa nggak sekali aja kalau nyamperin aku pake acara yang normal aja, gak perlu treak gitu ? ha ? lagian itu kasian pita suara kamu kalo kebanyakn teriak bisa korslet loh.”
Aku menggerutu pelan pada sahabat ku itu, menoleh ke belakang tempat dia berada selangkah dibelakang ku, lalu kembali berjalan ke depan.

“Banyak omong kamu, ah. Ini tuh namanya tradisi ala aku tauuu, nanti kalau nggak ada lagi yang ngagetin kamu kayak tadi, kamu bakal kangen dan nyariin aku pasti.”
Balasnya sambil memperbaiki rambutnya yang tomboy itu. Lalu menyeka kacamatanya dan segera menggandeng ku.

“Dih. Pede kamu. Udah ah, lepas tangannya, ntar dikira sekampus kita belok lagi. Aku nggak mau reputasi ku ancur gegara kamu. HA.HA.HA”

“ERRRR! Eh itu tadi, Pak Tio nyari kamu, katanya kamu diminta buat ngisi kuliahnya besok jam 10 di kelas biasa. Ciyeee, besok bakal digombal adek-adek unyu lagi, loli ciyeeee. Hihiy. HA.HA.HA”

“HISSSSH” wajah ku membentuk garis-garis cemberut basi karena membayangkan suasana kelas biasa tempat ku gantiin Pak Tio. Lalu dalam sekejap berubah ceria, kepalaku mengikuti arah orang itu berjalan, dan akhirnya menghilang. Aku mencari-cari.

“Lol ? Lolipop ? Lolitaaa ? Hoi ? Hoi ?!! LOLITA!” panggil fala dan kemudian diakhirinya dengan menggerutu dihadapan wajahku sambil mengoyang-goyangkan kedua telapak tangannya.

“Apaan sih, fal. Ganggu deh, kamu. Eh ? mana yaaa ?” masih mencari. Orang itu.

“ngapain sih, kamu ? nyari siapa ? falla lalu turut serta mencari-cari siapa gerangan yang membuat ku sibuk mencarinya.

“siapa sih, lol ?” Pak Tio ?” lanjutnya.

“Eh ? enggak. Yuk ah.”

☺☺☺

Kampus, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta. Pukul 09.48.

Aku menyusuri jalan menuju kelas tempat aku bakal ngajar gantiin Pak Tio yang hari ini entah sedang dimana. Menyusuri jalanan penuh mahasiswa yang masing-masing sibuk dengan kegiatan mereka.

“Falla, mana yaaa. Harusnya udah nongol dia jam segini. Huh, kemana lagi deh dia..” aku membathin, sembari mata ku menyapu bersih setiap sudut-sudut koridor kampus, kalau-kalau falla sedang berkeliaran disini. Hari ini dia janji akan menemani ku.
☺☺☺
“Fiuh. Akhirnya kelar juga ngajarnya. Dasar junior-junior gila, aku ngajar meraka melongos, juga menggoda ku. Lain kali kalau dimintai tolong Pak Tio aku gak lagi-lagi deh” kata ku, dalam hati. Tentu saja, aku tidak ingin diliat orang-orang disekitar sini berbicara sendiri, lalu menganggap ku gila.
“LOLITA!!!”
“ASTAGHFIRULLAH!!” kamu tuh yaa! Falla mengagetkan ku, lagi lagi. Jika saja aku punya kelainan jantung atau lemah jantung, aku mungkin akan pingsan dibuatnya. Tapi, sayang. Jantung ku baik-baik saja, malah sudah terbiasa dengan ulah sahabat ku yang satu ini.
“he he he. Santai dong, kayak baru sekali ini aja. Makan yuk ah, laperrrr...” kata falla seraya memegang perutnya.
“Aku juga, tadi anak-anak rese.”
“HA HA HA! Kan emang mereka kayak gitu. Harusnya udah terbiasa dong kamunya. Hihi”
“OGAAAAAAAAAH!! HEH ?!!
“Eh, maaf maaf. aku buru-buru, tadi ngecek hape trus hgak fokus ke jalan abis itu nabrak kamu. Maaf maaf.”
DHEG. DHEG. DHEG.
“Ini cowok kemarin yang ku cari-cari itu. Ah, kebetulan sekali. Waaah, manis sekali dia. Sopan pula. Kalo anak-anak lain abis nabrak ya pasti kabur gitu aja, ini dia sampe maaf berkali-kali. Aw.” Aku bercerita, bukan pada falla, pada hatiku, pendengar setia.
“Eh, iya gak papa.” Aku masih memandangnya, terus memandangnya hingga yang terlihat kini hanya punggungnya.
“EKHEM..” Falla memeluk dadanya, lalu menyikutku denga tangannya. Dia, menggoda ku. Rupanya dia tahu bahwa aku daritadi terus melihat orang itu.
“Apa ih. Wooo!” balas ku tidak ingin menanggapi godaan falla.
“kita tuh sahabatan udah lama, lol. Aku taulah, watak kamu itu kalo lagi kesengsem sama orang. Ya kayak tadi itu. Senyam senyum sendiri. Aku kenal dia lagi. Hahaha!”
“Eh ?”
“Iyaaa, dia itu senior ku. Kita se-jurusan kok. Tiap hari juga ketemu dia. Jadi ? mau nitip salam ?”
“Idih, enggak hei. Awas aja kalo berani ngomong.” Aku meneruskan jalan ku, sedikit lebih cepat dari Falla.
☺☺☺
Kantin kampus. Pukul 11.36
Kantin adalah tempat dimana aku melepas dahagaku juga laparku. Memanjakan perut juga tenggorokanku. Aku memesan menu seperti biasa, Falla juga demikian. Makanannya belum sampai ke meja kami, aku duduk sembari melihat sekeliling, terheran-heran kantin pagi ini kok sepi. Hanya ada aku, Falla, dua orang cewek dua meja dari kami, sepasang kekasih didepan dua orang cewek tadi, dan... DHEG. Cowok itu. Dia berada dimeja tepat dibelakang kami, aku dan Falla.
DHEG. 
Aku terdiam, masih melihatnya yang sibuk dengan semangkuk baksonya. Sedang makan pun dia masih terlihat “keren”. Sesekali ia menyeruput Es Teh untuk menghilangkan rasa pedasnya, aku melihat jelas betapa ia sedang kepedisan. Hahaha, lucu. Melihatnya seperti itu.
“Lolita! Itu leher kasian, ntar bengkok loh.” Falla mengagetkan ku.
“Huss ah. Yuk makan.” Makanan kami ternyata sudah hampir daritadi tiba dimeja kami. Aku saja yang terlalu sibuk dengan orang itu. Aku memalingkan kembali kepala ku. Memulai makan dengan tetap sesekali melihat kearah belakang, kearah cowok itu. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lalu untuk yang kelima kali aku menoleh, ia menghilang. Meja itu sudah kosong, yang tertinggal hanyal semangkuk sisa bakso dan segelas Es Teh punya cowok itu tadi. Ah. Mana yaaa ?. aku menengok ke segala penjuru ruangan kantin, dan tidak menemukannya. Lalu kembali fokus pada makananku.
“Lolitaaa. Dia tuh udah pergi daritadi.... hahaha kasian. Tuh kaaaaan, naksir. Hihi. Besok kalo ketemu dia, aku kasih tau deh kalo temen aku yang satu ini rupanya sedang terpesona padanya. Hahaha”
“Nggak kok, Fal. Biasa aja ah. Coba aja ya sampe ngomong.” Aku melanjutkan kegiatan makanku.
☺☺☺
Terduduk diam, tanpa bersuara. Dadaku berdegup. Canggung. Mengingat-ngingat aku bermimpi apa semalam kini orang itu, ah cowok itu, duduk bersebelahan dengan ku, berniat membicarakan sesuatu. Aku semakin tidak mengerti, bagaimana orang yang bahkan tidak mengenal ku kini ingin membicarakan sesuatu dengan ku. Ia memulai, ceritanya...
“Kemarin, kau kah yang kemarin sering menoleh kearah ku ? Di kantin...”
DHEG. DHEG. DHEG.
Mendadak aku ingin sekali agar Falla tiba-tiba saja meneriaki ku dengan caranya, seperti selalu. Hingga aku bisa lari dari pembicaraan ini. Aku. Sama sekali tidak ingin membahasnya. Astagah.
“Benarkah ? kau diam. Aku menganggapnya benar. Itu kamu. Kemarin, ada seorang kawan yang mengatakan padaku. Kurasa kau sudah tahu itu...”
DHEG. DHEG. DHEG.
Aku tercegat. Apa ini. Kawan siapa. Ah. Lalu aku teringat kejadian kemarin bersama Falla, di Kantin. Aku ingat ia mengatakan akan memberitahu pada orang ini bahwa aku naksir padanya dan sering melihatnya. ERRR.
“FALLAAAA, RESE!!” aku berteriak, pada hatiku tentu saja. Lagi lagi.
“Hah ? siapa ? aku gak ngerti deh kamu ngomong apa...” aku mencoba tetap santai seperti biasa.
“Falla, katany...”
“Ah itu... (aku segera memotong pembicaraanya, tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya) Iya, maaf aku...”
“Loh kok maaf ? nggak papa lagi. Aku juga pengen ngomong sama kamu...” kini dia yang memotong pembicaraan yang baru mau ku mulai untuk memberreskan semua ini.
“Kamu bukan pemarah kan ? aku takut kamu marah...” lanjutnya, kini dengan suara yang agak terbata.
“Ngomong apa ? ya kalo ngomong macem-macem pasti marah. Haha” aku tertawa, basi.
“Nggaklah. Ehmm. Mmm. Aku... jadi pacar kamu boleh ?”

DHEG. DHEG. DHEG.

Aku tercegat, lebih dari yang tadi. Dadaku berdesir, ini kenapa jadinya gini ? bathin ku. Segera aku memantapkan mulut ku. Satu, dua, tiga! Kabur! Eh, enggak deng.
“sebelumnya aku maaf sama kamu. Maaf aku nggak bisa, soal aku naksir kamu itu emang bener kok. Aku suka ngliat kamu. Tapi Cuma sebatas itu aja kok, kalau bertemu dengan mu aku seneng, tapi saat tidakpun aku lantas tidak punya hasrat untuk mnecari agar bisa bertemu denganmu. Kamu, menarik. Kata teman ku, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat pertama melihatmu. Tapi, sayangnya aku gak percaya hal itu. Cinta, urusan hati. Aku lebih suka menyebutnya, suka pada pandangan pertama. Atau seperti yang sekarang berlangsung, Naksir pada pandangan pertama. Dan disitulah aku, pada naksir yang tidak beraharap apapun darimu...”
☺☺☺
Kantin Kampus. Pukul 12.47
Aku menceritakan semuanya yang terjadi tanpa terlewat satu katapun pada Falla. Ia hanya tertawa sepuasnya. Setelah aku selesai bercerita, ia bergantian yang bercerita. Bara, nama cowok itu. Beberapa hari yang lalu ternyata putus sama pacarnya. Ia mengatakan bahwa mungkin penyebabnya adalah aku. Aku hanya tertawa dan menolak mengiyakan. Jelas saja, itu tidak mungkin.
“Harusnya bukan gegara aku ya. Kamu kan ngomong ke dia baru kemarin, sementara dia udah putus sebelum hari kamu ngomong sama dia. jadi, ya nggak mungkin.”
“haha iya ya, huuu dodolll”
“ya lagian kamu sih, aku tuh Cuma naksir aja sama dia, itu aja kok. Sama sekali gak ada perasaan lebih atau harapan bisa pacaran sama dia. gila aja kalo gitu, kamu kan tau sendiri. Aku cintanya sama siapa...” jelasku lalu mengarahkan pandangan ku ke arah jam 10 dari meja kami, memandang dengan senyum pada pria berkacamata dan memakai kameja kotak-kotak itu. Dia sedang berjalan kearah kami, mengangkat tangan kananya lalu menggoyangkannya kearah ku. Pria itu, kekasih ku. Sudah 5 tahun kami bersama sejak lulus SMA. Adit. namanya.

“Ayah, bangun ayah. Aku tahu kau hanya terlelap, aku tahu kau hanya tidur untuk melepas lelah mu, aku tahu kau hanya beristirahat diranjang mu ini. Bangun, ayah. Bangunlah dulu walau hanya sejenak, aku ingin menyampaikan sesuatu pada mu. AYAH, KU MOHON, BANGUNLAH! AYAH!”

Begitu yang diucapkan oleh pria itu, pria yang kucintai sambil terisak tersedu-sedu pada raga ayahnya yang kini kaku membisu dan tak bernafas lagi diranjangnya. Aku tahu betul ia berkata seperti itu untuk menguatkan dirinya, berusaha memalsukan kenyataan hanya agar bathinnya tetap tegar hanya agar bathinnya tetap tegar. Tapi, kenyataan terlalu kuat untuk dilawannya sendiri. Ayahnya memang sudah tiada saat aku dengannya samapi dirumahnya. Diluar langit gelap juga hujan, aku tahu persis kondisi hati pria itu seperti cuaca diluar jendela kamar itu.
Sejadi-jadinya ia menangis sebagai bentuk penolakan terhadap kenyataan yang begitu pilu ini. Masih ku ingat beberapa hari yang lalu, didepan mataku ia bertengar hebat dengan ayahnya. Pasti sekarang hatinya hancur sekali, mengingat tak sempat ia mengutarakan sepatah katapun pada ayahnya sebelum akhirnya beliau pergi. Tentu saja pergi untuk tidak pernah kembali. Belum pernah ku lihat pria yang kucintai ini seperti ini, selama bertahun kami merajut kisah cinta, tidak pernah seklaipun aku melihat matanya basah oleh airmata. Tapi, hari ini, aku sadar betapa ia juga hanya seorang manusia biasa yang bisa menangis saat pertahanan hatinya sudah tidak mampu meredam sakit yang begitu menghantam. Betapa ia tidak seperti batu, dan betapa rapuhnya ia sesungguhnya di dalam hati.
Ku tenangkan dirinya, ku sandarkan kepalanya pada bahu ku. Agar ia merasa tangisnya juga tangis ku. Karena aku mencintainya, dan kami saling berbagi rasa cinta itu.
Hujan diluar belum juga berhenti, kami masih berduka.
Hati ku masih tercegat, dada ku masih berdebar. saat telinga ku menangkap ada orang yang memanggil “nama” mu. walau jelas saat ku menoleh ke arah dimana suara itu bermuara, ternyata bukan “kamu”. Aku sudah tahu, tapi masih kecewa. 
Aku lupa akan dua hal. Pertama adalah bahwa kau sudah pergi dan kita tak lagi bersama, dan yang kedua adalah ada banyak nama seperti itu di dunia ini...
Daun-daun pohon itu bergoyang-goyang seperti penyanyi dangdut yang dengan lenturnya memainkan tubuhnya. Sebagian daun berguguran, sebagian lagi tetap pada tempatnya. Ranting-rantingnya juga ikut kesana kemari. Buahnya juga demikian. Anak-anak itu tampak kecewa, sudah hampir sejam mereka berusaha keras untuk menjatuhkan buah-buah dari pohon itu, tapi tak kunjung jatuh, walau satu. Aku hanya tertawa geli melihat tingkah mereka. Karena kasihan, aku lalu berjalan menghampiri mereka, membawa satu kantung buah rambutan yang kubeli di pasar tadi dan memberikannya pada mereka.

“ini ambillah. Jangan lagi mengganggu pohon itu, kalian lelah bukan ? pohon itu juga pasti lebih lelah...”
Bagaimana ia bisa memberikan cahaya untuk kami, dengan tubuh yang semakin habis. Bagaimana ia menukar cahaya dengan tubuhnya sendiri.
Berapa hari yang lalu, kira-kira seminggu. Aku masih bersamanya, masih se-meja dengannya dengan menu yang sama di café seperti biasa, saat makan siang. Lalu hari ini, aku melihatnya dengan seseorang yang ku kenal. aku hanya tersenyum dan berlalu, sementara hatiku, sedang mengukir luka dengan sendirinya. Orang yang ku kenal itu, sahabatku...
Aku masih mengagumi senyum mu, seperti pada awalnya aku terpesona untuk pertama kalinya. Walau jelas langkah kita sudah jauh berbeda tujuan.
Dia tertawa, aku tertawa. Kami berdua tertawa pada kekonyolan yang kami buat sendiri. Sesederhana itu, bahagia.
Jangan biarkan ego mu lebih besar dari kasih mu...
Sebab sangat sulit mengendalikan semuanya, saat hati mu dirajai oleh ego mu sendiri. Saat semua ruang hati mu kini berisikan ego, keadaan tidak akan pernah sama lagi. Jangan sampai kau menyesali saat semua telah berubah. Sebab yang pergi, kadang kembali kadang memilih untuk tetap pada tempatnya. Kau bisa lari mengejar, namun tidak ada yang bisa memastikan kau bisa meraihnya kembali.
Jika kau mengasihi dengan hati, harusnya kau tidak akan sanggu untuk menyakiti...
Malam itu di tengah hujan, kami semua sibuk membangun tenda kecil untuk berteduh. Lalu ayah datang memanggil-manggil setengah berteriak nama “Anjeli”. Aku tahu bukan aku yang sedang dicarinya, tapi wanita yang bernama sama dengan ku itu, wanita yang ku kagumi, yang selalu menenangkan ku saat tangisku tak terbendung karena merindukan ibu... 
wanita yang baik hati itu, wanita yang begitu mencintai anak-anak seperti aku. Wanita yang dicintai Ayahku, belakangan aku sadari itu dari mata Ayah yang memang tidak pandai berbohong.
“Ibu, Anjeli mana ?”

“Ini Anjeli, rahul” kata nenek ku sambil menunjuk ku.

“bukan, yang satu lagi, bu..” Balas Ayah ku dengan masih mencari-cari.

Lalu saat menoleh ke belakang, ia mendapati wanita itu, yang sedaritadi dicarinya. Sekaligus juga mendapati seorang lelaki seumurannya tepat dibelakang wanita itu. Ia berkata ia mengenal Ayah, kemudian lalu mengatakan ia juga mengenalku. 

“Ah, itu Anjeli mu..” 

lalu kemudian mendekap wanita itu dari belakang seraya berkata 

“Ini Anjeli ku, cantik bukan...” 

senyumnya saat mengatakan kalimat barusan itu sangat memberi tahu betapa bahagianya ia memiliki wanita itu, betapa bahagia dirinya. Tapi disini, disaat yang sama saat ia mengatakan kalimat itu, hati ku pedih sekali. Aku yakin, hal yang sama dirasakan juga oleh Ayah ku. Atau bahkan lebih dari yang kurasakan. Ia lalu menggenggam hangat tangan ku disaat hujan sedang derasnya. Lalu kemudian menciumnya dengan mata yang memancarkan rasa sakit tak terhingga.
Langit di ujung barat tampak seperti pipi penari yang ku lihat beberapa malam lau di sebuah pentas di perkampungan. Warnanya merah, merona. Senja sedang mendatangi ku yang kini berjongkok di pinggiran jalan tanpa kegiatan yang berarti. Aku hanya menikmatinya, melihat dunia dari bawah sini, memandangi jalanan ibukota saat senja datang, sesekali mendongak ke atas langit, entah apa yang kucari pada langit luas ciptaan Tuhan ku itu. Ke kanan lalu juga ke kiri, aku kini mempermainkan kepala ku. Sibuk sekali manusia-manusia ini, sampai berkumandang adzan magrib belum ku lihat ada seorang muslim mau berhenti sejenak untuk menyembah Tuhan nya. Yang ada hanya muslim juga muslimah yang datang dari rumah-rumahnya. Aku tentu saja tahu. Magrib sedang berlangsung, jalanan masih saja ramai, bunyi-bunyi klakson motor, mobil, truk bahkan bajaj seperti sedang berlomba bunyi klakson siapa yang paling hebat. oh Bumi, sungguh kasihan sekali dirimu. Senja kini berganti malam, aku masih disini, di pinggiran jalan di depan masjid kecil didalam ibukota.
Ketika yang peduli kini tak lagi seerti itu.

Ketika yang sering mengirimi sms, bbm kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang sering mengagetkan mu di pagi hari dengan PING!!! Nya kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang setiap hari menyapa mu kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang siap (nganter) kamu kemana pun kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu stand up untuk kamu kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu sekedar bertanya “udah makan?” “mau kemana?” kini hampir tidak bersuara lagi.

Ketika yang selalu mengutamakan mu, kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang rela berkorban demi kamu, kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu siap membenteng mu walau jelas pendapat mu bodoh.

Ketika yang selalu tersenyum melihat kekonyolan mu, kini bahkan untuk sekedar memandang mu tidak ada lagi.

Ketika yang selalu ingin dekat dengan mu, kini menjauh.

Ketika yang begitu peduli terhadap mu, kini seperti orang lain.

Ketika yang menaruh rasa pada mu, kini merasa dirimu bukan apa apa lagi.

Ketika semua yang biasa dan selalu dilakukannya, kini menghilang, dan tidak ada lagi.

Ketika semua tidak sama lagi.

Ketika semua telah berubah.

Saat itu pula, kau akan merasakan betapa pedihnya kehilangan orang yang ternyata begitu memedulikan mu, tapi sangat kau abaikan semua perlakuannya termasuk juga hati dan perasaannya.
ketika yang disia-siakan kini berbalik menyia-nyikan mu.
Saat sudah terlambat untuk mengulang semua.
Kau hanya terlalu sibuk untuk menyadarinya, lalu saat akhirnya ada jeda untuk akhirnya kau tahu, dia justru telah lelah dengan semua yang dilakukannya, tapi tidak pernah bernilai dimatamu...
“Sometimes all you can do is walk away, hide your tears, and just pretend you are okay."
Menadi lemah bukan takdir.

Menjadi lemah adalah pilihan.

Setiap orang punya kesempatan untuk menjadi lemah atau melawan.

Ketika seorang badut menimpan airmata dibalik riasan wajahnya yang penuh tawa dengan pipi dibiarkan merona.

Lalu badu itu akan tertawa sambil menangis, menertawakan dirinya sendiri. 

Karena aku dan mereka adalah badut-badut penyedih yang menutup tangis dengan menertawakan dirinya sendiri.

-  @Popokman
Tadi, saat tidur siang saat matahari sedang semangatnya bersinar, aku bermimpi. Di mimpi itu, aku sedang menikmati senja di sebuah taman bunga, disana penuh bunga, mereka sangat cantik. Anehnya adalah, tidak satu pun kulihat ada kupu-kupu berterbangan disana.
Aku sendirian, tak berkawan. Lalu kemudian datanglah burung-burung camar penghias langit diatas hamparan laut ke taman itu. Tidak terlalu banyak, hanya ada beberapa. Aku lalu bercengkerama singkat dengan mereka. Ternyata aku bisa berbicara dengan mereka. Ah.

“Kalian untuk apa disini ? bukankah harusnya tempat kalian diatas hamparan laut biru nan indah itu ?”

“kami disini untuk berkawan dengan mu, bukankah kau sendirian disini tanpa siapapun ?”

“ah iya. Aku kesepian hingga ingin menangis. Disini membosankan, aku tidak begitu menyukai bunga. Tapi, bisakah kalian membawaku terbang bersama kalian sekali ini saja ?”

“Tidak. Kau tidak bisa, kau tidak punya sayap seperti kami.”

“bisakah kau meminjamkan aku ? sayap...”

“tidak, kau manusia. Kau berbeda.selain itu, sayap ini hanya titipan Tuhan kami.”

Minggu, 25 Desember 2011

You can’t blame someone for walking away, if you didn’t do anything to make them stay”.