Sabtu, 31 Desember 2011

#cumanaksirunite

“LOLIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII. LOLIPOOOOOOOOOOOOOP. LOLITAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Hosh. Hosh. Hosh. Hosh.

“Fallaaaaaaaa! Kamu bisa diem nggak sih ?! aku maluuuuu dilietin banyak orang disini. ERRR! Kamu tuh bisa nggak sekali aja kalau nyamperin aku pake acara yang normal aja, gak perlu treak gitu ? ha ? lagian itu kasian pita suara kamu kalo kebanyakn teriak bisa korslet loh.”
Aku menggerutu pelan pada sahabat ku itu, menoleh ke belakang tempat dia berada selangkah dibelakang ku, lalu kembali berjalan ke depan.

“Banyak omong kamu, ah. Ini tuh namanya tradisi ala aku tauuu, nanti kalau nggak ada lagi yang ngagetin kamu kayak tadi, kamu bakal kangen dan nyariin aku pasti.”
Balasnya sambil memperbaiki rambutnya yang tomboy itu. Lalu menyeka kacamatanya dan segera menggandeng ku.

“Dih. Pede kamu. Udah ah, lepas tangannya, ntar dikira sekampus kita belok lagi. Aku nggak mau reputasi ku ancur gegara kamu. HA.HA.HA”

“ERRRR! Eh itu tadi, Pak Tio nyari kamu, katanya kamu diminta buat ngisi kuliahnya besok jam 10 di kelas biasa. Ciyeee, besok bakal digombal adek-adek unyu lagi, loli ciyeeee. Hihiy. HA.HA.HA”

“HISSSSH” wajah ku membentuk garis-garis cemberut basi karena membayangkan suasana kelas biasa tempat ku gantiin Pak Tio. Lalu dalam sekejap berubah ceria, kepalaku mengikuti arah orang itu berjalan, dan akhirnya menghilang. Aku mencari-cari.

“Lol ? Lolipop ? Lolitaaa ? Hoi ? Hoi ?!! LOLITA!” panggil fala dan kemudian diakhirinya dengan menggerutu dihadapan wajahku sambil mengoyang-goyangkan kedua telapak tangannya.

“Apaan sih, fal. Ganggu deh, kamu. Eh ? mana yaaa ?” masih mencari. Orang itu.

“ngapain sih, kamu ? nyari siapa ? falla lalu turut serta mencari-cari siapa gerangan yang membuat ku sibuk mencarinya.

“siapa sih, lol ?” Pak Tio ?” lanjutnya.

“Eh ? enggak. Yuk ah.”

☺☺☺

Kampus, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta. Pukul 09.48.

Aku menyusuri jalan menuju kelas tempat aku bakal ngajar gantiin Pak Tio yang hari ini entah sedang dimana. Menyusuri jalanan penuh mahasiswa yang masing-masing sibuk dengan kegiatan mereka.

“Falla, mana yaaa. Harusnya udah nongol dia jam segini. Huh, kemana lagi deh dia..” aku membathin, sembari mata ku menyapu bersih setiap sudut-sudut koridor kampus, kalau-kalau falla sedang berkeliaran disini. Hari ini dia janji akan menemani ku.
☺☺☺
“Fiuh. Akhirnya kelar juga ngajarnya. Dasar junior-junior gila, aku ngajar meraka melongos, juga menggoda ku. Lain kali kalau dimintai tolong Pak Tio aku gak lagi-lagi deh” kata ku, dalam hati. Tentu saja, aku tidak ingin diliat orang-orang disekitar sini berbicara sendiri, lalu menganggap ku gila.
“LOLITA!!!”
“ASTAGHFIRULLAH!!” kamu tuh yaa! Falla mengagetkan ku, lagi lagi. Jika saja aku punya kelainan jantung atau lemah jantung, aku mungkin akan pingsan dibuatnya. Tapi, sayang. Jantung ku baik-baik saja, malah sudah terbiasa dengan ulah sahabat ku yang satu ini.
“he he he. Santai dong, kayak baru sekali ini aja. Makan yuk ah, laperrrr...” kata falla seraya memegang perutnya.
“Aku juga, tadi anak-anak rese.”
“HA HA HA! Kan emang mereka kayak gitu. Harusnya udah terbiasa dong kamunya. Hihi”
“OGAAAAAAAAAH!! HEH ?!!
“Eh, maaf maaf. aku buru-buru, tadi ngecek hape trus hgak fokus ke jalan abis itu nabrak kamu. Maaf maaf.”
DHEG. DHEG. DHEG.
“Ini cowok kemarin yang ku cari-cari itu. Ah, kebetulan sekali. Waaah, manis sekali dia. Sopan pula. Kalo anak-anak lain abis nabrak ya pasti kabur gitu aja, ini dia sampe maaf berkali-kali. Aw.” Aku bercerita, bukan pada falla, pada hatiku, pendengar setia.
“Eh, iya gak papa.” Aku masih memandangnya, terus memandangnya hingga yang terlihat kini hanya punggungnya.
“EKHEM..” Falla memeluk dadanya, lalu menyikutku denga tangannya. Dia, menggoda ku. Rupanya dia tahu bahwa aku daritadi terus melihat orang itu.
“Apa ih. Wooo!” balas ku tidak ingin menanggapi godaan falla.
“kita tuh sahabatan udah lama, lol. Aku taulah, watak kamu itu kalo lagi kesengsem sama orang. Ya kayak tadi itu. Senyam senyum sendiri. Aku kenal dia lagi. Hahaha!”
“Eh ?”
“Iyaaa, dia itu senior ku. Kita se-jurusan kok. Tiap hari juga ketemu dia. Jadi ? mau nitip salam ?”
“Idih, enggak hei. Awas aja kalo berani ngomong.” Aku meneruskan jalan ku, sedikit lebih cepat dari Falla.
☺☺☺
Kantin kampus. Pukul 11.36
Kantin adalah tempat dimana aku melepas dahagaku juga laparku. Memanjakan perut juga tenggorokanku. Aku memesan menu seperti biasa, Falla juga demikian. Makanannya belum sampai ke meja kami, aku duduk sembari melihat sekeliling, terheran-heran kantin pagi ini kok sepi. Hanya ada aku, Falla, dua orang cewek dua meja dari kami, sepasang kekasih didepan dua orang cewek tadi, dan... DHEG. Cowok itu. Dia berada dimeja tepat dibelakang kami, aku dan Falla.
DHEG. 
Aku terdiam, masih melihatnya yang sibuk dengan semangkuk baksonya. Sedang makan pun dia masih terlihat “keren”. Sesekali ia menyeruput Es Teh untuk menghilangkan rasa pedasnya, aku melihat jelas betapa ia sedang kepedisan. Hahaha, lucu. Melihatnya seperti itu.
“Lolita! Itu leher kasian, ntar bengkok loh.” Falla mengagetkan ku.
“Huss ah. Yuk makan.” Makanan kami ternyata sudah hampir daritadi tiba dimeja kami. Aku saja yang terlalu sibuk dengan orang itu. Aku memalingkan kembali kepala ku. Memulai makan dengan tetap sesekali melihat kearah belakang, kearah cowok itu. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lalu untuk yang kelima kali aku menoleh, ia menghilang. Meja itu sudah kosong, yang tertinggal hanyal semangkuk sisa bakso dan segelas Es Teh punya cowok itu tadi. Ah. Mana yaaa ?. aku menengok ke segala penjuru ruangan kantin, dan tidak menemukannya. Lalu kembali fokus pada makananku.
“Lolitaaa. Dia tuh udah pergi daritadi.... hahaha kasian. Tuh kaaaaan, naksir. Hihi. Besok kalo ketemu dia, aku kasih tau deh kalo temen aku yang satu ini rupanya sedang terpesona padanya. Hahaha”
“Nggak kok, Fal. Biasa aja ah. Coba aja ya sampe ngomong.” Aku melanjutkan kegiatan makanku.
☺☺☺
Terduduk diam, tanpa bersuara. Dadaku berdegup. Canggung. Mengingat-ngingat aku bermimpi apa semalam kini orang itu, ah cowok itu, duduk bersebelahan dengan ku, berniat membicarakan sesuatu. Aku semakin tidak mengerti, bagaimana orang yang bahkan tidak mengenal ku kini ingin membicarakan sesuatu dengan ku. Ia memulai, ceritanya...
“Kemarin, kau kah yang kemarin sering menoleh kearah ku ? Di kantin...”
DHEG. DHEG. DHEG.
Mendadak aku ingin sekali agar Falla tiba-tiba saja meneriaki ku dengan caranya, seperti selalu. Hingga aku bisa lari dari pembicaraan ini. Aku. Sama sekali tidak ingin membahasnya. Astagah.
“Benarkah ? kau diam. Aku menganggapnya benar. Itu kamu. Kemarin, ada seorang kawan yang mengatakan padaku. Kurasa kau sudah tahu itu...”
DHEG. DHEG. DHEG.
Aku tercegat. Apa ini. Kawan siapa. Ah. Lalu aku teringat kejadian kemarin bersama Falla, di Kantin. Aku ingat ia mengatakan akan memberitahu pada orang ini bahwa aku naksir padanya dan sering melihatnya. ERRR.
“FALLAAAA, RESE!!” aku berteriak, pada hatiku tentu saja. Lagi lagi.
“Hah ? siapa ? aku gak ngerti deh kamu ngomong apa...” aku mencoba tetap santai seperti biasa.
“Falla, katany...”
“Ah itu... (aku segera memotong pembicaraanya, tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya) Iya, maaf aku...”
“Loh kok maaf ? nggak papa lagi. Aku juga pengen ngomong sama kamu...” kini dia yang memotong pembicaraan yang baru mau ku mulai untuk memberreskan semua ini.
“Kamu bukan pemarah kan ? aku takut kamu marah...” lanjutnya, kini dengan suara yang agak terbata.
“Ngomong apa ? ya kalo ngomong macem-macem pasti marah. Haha” aku tertawa, basi.
“Nggaklah. Ehmm. Mmm. Aku... jadi pacar kamu boleh ?”

DHEG. DHEG. DHEG.

Aku tercegat, lebih dari yang tadi. Dadaku berdesir, ini kenapa jadinya gini ? bathin ku. Segera aku memantapkan mulut ku. Satu, dua, tiga! Kabur! Eh, enggak deng.
“sebelumnya aku maaf sama kamu. Maaf aku nggak bisa, soal aku naksir kamu itu emang bener kok. Aku suka ngliat kamu. Tapi Cuma sebatas itu aja kok, kalau bertemu dengan mu aku seneng, tapi saat tidakpun aku lantas tidak punya hasrat untuk mnecari agar bisa bertemu denganmu. Kamu, menarik. Kata teman ku, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat pertama melihatmu. Tapi, sayangnya aku gak percaya hal itu. Cinta, urusan hati. Aku lebih suka menyebutnya, suka pada pandangan pertama. Atau seperti yang sekarang berlangsung, Naksir pada pandangan pertama. Dan disitulah aku, pada naksir yang tidak beraharap apapun darimu...”
☺☺☺
Kantin Kampus. Pukul 12.47
Aku menceritakan semuanya yang terjadi tanpa terlewat satu katapun pada Falla. Ia hanya tertawa sepuasnya. Setelah aku selesai bercerita, ia bergantian yang bercerita. Bara, nama cowok itu. Beberapa hari yang lalu ternyata putus sama pacarnya. Ia mengatakan bahwa mungkin penyebabnya adalah aku. Aku hanya tertawa dan menolak mengiyakan. Jelas saja, itu tidak mungkin.
“Harusnya bukan gegara aku ya. Kamu kan ngomong ke dia baru kemarin, sementara dia udah putus sebelum hari kamu ngomong sama dia. jadi, ya nggak mungkin.”
“haha iya ya, huuu dodolll”
“ya lagian kamu sih, aku tuh Cuma naksir aja sama dia, itu aja kok. Sama sekali gak ada perasaan lebih atau harapan bisa pacaran sama dia. gila aja kalo gitu, kamu kan tau sendiri. Aku cintanya sama siapa...” jelasku lalu mengarahkan pandangan ku ke arah jam 10 dari meja kami, memandang dengan senyum pada pria berkacamata dan memakai kameja kotak-kotak itu. Dia sedang berjalan kearah kami, mengangkat tangan kananya lalu menggoyangkannya kearah ku. Pria itu, kekasih ku. Sudah 5 tahun kami bersama sejak lulus SMA. Adit. namanya.

“Ayah, bangun ayah. Aku tahu kau hanya terlelap, aku tahu kau hanya tidur untuk melepas lelah mu, aku tahu kau hanya beristirahat diranjang mu ini. Bangun, ayah. Bangunlah dulu walau hanya sejenak, aku ingin menyampaikan sesuatu pada mu. AYAH, KU MOHON, BANGUNLAH! AYAH!”

Begitu yang diucapkan oleh pria itu, pria yang kucintai sambil terisak tersedu-sedu pada raga ayahnya yang kini kaku membisu dan tak bernafas lagi diranjangnya. Aku tahu betul ia berkata seperti itu untuk menguatkan dirinya, berusaha memalsukan kenyataan hanya agar bathinnya tetap tegar hanya agar bathinnya tetap tegar. Tapi, kenyataan terlalu kuat untuk dilawannya sendiri. Ayahnya memang sudah tiada saat aku dengannya samapi dirumahnya. Diluar langit gelap juga hujan, aku tahu persis kondisi hati pria itu seperti cuaca diluar jendela kamar itu.
Sejadi-jadinya ia menangis sebagai bentuk penolakan terhadap kenyataan yang begitu pilu ini. Masih ku ingat beberapa hari yang lalu, didepan mataku ia bertengar hebat dengan ayahnya. Pasti sekarang hatinya hancur sekali, mengingat tak sempat ia mengutarakan sepatah katapun pada ayahnya sebelum akhirnya beliau pergi. Tentu saja pergi untuk tidak pernah kembali. Belum pernah ku lihat pria yang kucintai ini seperti ini, selama bertahun kami merajut kisah cinta, tidak pernah seklaipun aku melihat matanya basah oleh airmata. Tapi, hari ini, aku sadar betapa ia juga hanya seorang manusia biasa yang bisa menangis saat pertahanan hatinya sudah tidak mampu meredam sakit yang begitu menghantam. Betapa ia tidak seperti batu, dan betapa rapuhnya ia sesungguhnya di dalam hati.
Ku tenangkan dirinya, ku sandarkan kepalanya pada bahu ku. Agar ia merasa tangisnya juga tangis ku. Karena aku mencintainya, dan kami saling berbagi rasa cinta itu.
Hujan diluar belum juga berhenti, kami masih berduka.
Hati ku masih tercegat, dada ku masih berdebar. saat telinga ku menangkap ada orang yang memanggil “nama” mu. walau jelas saat ku menoleh ke arah dimana suara itu bermuara, ternyata bukan “kamu”. Aku sudah tahu, tapi masih kecewa. 
Aku lupa akan dua hal. Pertama adalah bahwa kau sudah pergi dan kita tak lagi bersama, dan yang kedua adalah ada banyak nama seperti itu di dunia ini...
Daun-daun pohon itu bergoyang-goyang seperti penyanyi dangdut yang dengan lenturnya memainkan tubuhnya. Sebagian daun berguguran, sebagian lagi tetap pada tempatnya. Ranting-rantingnya juga ikut kesana kemari. Buahnya juga demikian. Anak-anak itu tampak kecewa, sudah hampir sejam mereka berusaha keras untuk menjatuhkan buah-buah dari pohon itu, tapi tak kunjung jatuh, walau satu. Aku hanya tertawa geli melihat tingkah mereka. Karena kasihan, aku lalu berjalan menghampiri mereka, membawa satu kantung buah rambutan yang kubeli di pasar tadi dan memberikannya pada mereka.

“ini ambillah. Jangan lagi mengganggu pohon itu, kalian lelah bukan ? pohon itu juga pasti lebih lelah...”
Bagaimana ia bisa memberikan cahaya untuk kami, dengan tubuh yang semakin habis. Bagaimana ia menukar cahaya dengan tubuhnya sendiri.
Berapa hari yang lalu, kira-kira seminggu. Aku masih bersamanya, masih se-meja dengannya dengan menu yang sama di café seperti biasa, saat makan siang. Lalu hari ini, aku melihatnya dengan seseorang yang ku kenal. aku hanya tersenyum dan berlalu, sementara hatiku, sedang mengukir luka dengan sendirinya. Orang yang ku kenal itu, sahabatku...
Aku masih mengagumi senyum mu, seperti pada awalnya aku terpesona untuk pertama kalinya. Walau jelas langkah kita sudah jauh berbeda tujuan.
Dia tertawa, aku tertawa. Kami berdua tertawa pada kekonyolan yang kami buat sendiri. Sesederhana itu, bahagia.
Jangan biarkan ego mu lebih besar dari kasih mu...
Sebab sangat sulit mengendalikan semuanya, saat hati mu dirajai oleh ego mu sendiri. Saat semua ruang hati mu kini berisikan ego, keadaan tidak akan pernah sama lagi. Jangan sampai kau menyesali saat semua telah berubah. Sebab yang pergi, kadang kembali kadang memilih untuk tetap pada tempatnya. Kau bisa lari mengejar, namun tidak ada yang bisa memastikan kau bisa meraihnya kembali.
Jika kau mengasihi dengan hati, harusnya kau tidak akan sanggu untuk menyakiti...
Malam itu di tengah hujan, kami semua sibuk membangun tenda kecil untuk berteduh. Lalu ayah datang memanggil-manggil setengah berteriak nama “Anjeli”. Aku tahu bukan aku yang sedang dicarinya, tapi wanita yang bernama sama dengan ku itu, wanita yang ku kagumi, yang selalu menenangkan ku saat tangisku tak terbendung karena merindukan ibu... 
wanita yang baik hati itu, wanita yang begitu mencintai anak-anak seperti aku. Wanita yang dicintai Ayahku, belakangan aku sadari itu dari mata Ayah yang memang tidak pandai berbohong.
“Ibu, Anjeli mana ?”

“Ini Anjeli, rahul” kata nenek ku sambil menunjuk ku.

“bukan, yang satu lagi, bu..” Balas Ayah ku dengan masih mencari-cari.

Lalu saat menoleh ke belakang, ia mendapati wanita itu, yang sedaritadi dicarinya. Sekaligus juga mendapati seorang lelaki seumurannya tepat dibelakang wanita itu. Ia berkata ia mengenal Ayah, kemudian lalu mengatakan ia juga mengenalku. 

“Ah, itu Anjeli mu..” 

lalu kemudian mendekap wanita itu dari belakang seraya berkata 

“Ini Anjeli ku, cantik bukan...” 

senyumnya saat mengatakan kalimat barusan itu sangat memberi tahu betapa bahagianya ia memiliki wanita itu, betapa bahagia dirinya. Tapi disini, disaat yang sama saat ia mengatakan kalimat itu, hati ku pedih sekali. Aku yakin, hal yang sama dirasakan juga oleh Ayah ku. Atau bahkan lebih dari yang kurasakan. Ia lalu menggenggam hangat tangan ku disaat hujan sedang derasnya. Lalu kemudian menciumnya dengan mata yang memancarkan rasa sakit tak terhingga.
Langit di ujung barat tampak seperti pipi penari yang ku lihat beberapa malam lau di sebuah pentas di perkampungan. Warnanya merah, merona. Senja sedang mendatangi ku yang kini berjongkok di pinggiran jalan tanpa kegiatan yang berarti. Aku hanya menikmatinya, melihat dunia dari bawah sini, memandangi jalanan ibukota saat senja datang, sesekali mendongak ke atas langit, entah apa yang kucari pada langit luas ciptaan Tuhan ku itu. Ke kanan lalu juga ke kiri, aku kini mempermainkan kepala ku. Sibuk sekali manusia-manusia ini, sampai berkumandang adzan magrib belum ku lihat ada seorang muslim mau berhenti sejenak untuk menyembah Tuhan nya. Yang ada hanya muslim juga muslimah yang datang dari rumah-rumahnya. Aku tentu saja tahu. Magrib sedang berlangsung, jalanan masih saja ramai, bunyi-bunyi klakson motor, mobil, truk bahkan bajaj seperti sedang berlomba bunyi klakson siapa yang paling hebat. oh Bumi, sungguh kasihan sekali dirimu. Senja kini berganti malam, aku masih disini, di pinggiran jalan di depan masjid kecil didalam ibukota.
Ketika yang peduli kini tak lagi seerti itu.

Ketika yang sering mengirimi sms, bbm kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang sering mengagetkan mu di pagi hari dengan PING!!! Nya kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang setiap hari menyapa mu kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang siap (nganter) kamu kemana pun kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu stand up untuk kamu kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu sekedar bertanya “udah makan?” “mau kemana?” kini hampir tidak bersuara lagi.

Ketika yang selalu mengutamakan mu, kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang rela berkorban demi kamu, kini tak lagi seperti itu.

Ketika yang selalu siap membenteng mu walau jelas pendapat mu bodoh.

Ketika yang selalu tersenyum melihat kekonyolan mu, kini bahkan untuk sekedar memandang mu tidak ada lagi.

Ketika yang selalu ingin dekat dengan mu, kini menjauh.

Ketika yang begitu peduli terhadap mu, kini seperti orang lain.

Ketika yang menaruh rasa pada mu, kini merasa dirimu bukan apa apa lagi.

Ketika semua yang biasa dan selalu dilakukannya, kini menghilang, dan tidak ada lagi.

Ketika semua tidak sama lagi.

Ketika semua telah berubah.

Saat itu pula, kau akan merasakan betapa pedihnya kehilangan orang yang ternyata begitu memedulikan mu, tapi sangat kau abaikan semua perlakuannya termasuk juga hati dan perasaannya.
ketika yang disia-siakan kini berbalik menyia-nyikan mu.
Saat sudah terlambat untuk mengulang semua.
Kau hanya terlalu sibuk untuk menyadarinya, lalu saat akhirnya ada jeda untuk akhirnya kau tahu, dia justru telah lelah dengan semua yang dilakukannya, tapi tidak pernah bernilai dimatamu...
“Sometimes all you can do is walk away, hide your tears, and just pretend you are okay."
Menadi lemah bukan takdir.

Menjadi lemah adalah pilihan.

Setiap orang punya kesempatan untuk menjadi lemah atau melawan.

Ketika seorang badut menimpan airmata dibalik riasan wajahnya yang penuh tawa dengan pipi dibiarkan merona.

Lalu badu itu akan tertawa sambil menangis, menertawakan dirinya sendiri. 

Karena aku dan mereka adalah badut-badut penyedih yang menutup tangis dengan menertawakan dirinya sendiri.

-  @Popokman
Tadi, saat tidur siang saat matahari sedang semangatnya bersinar, aku bermimpi. Di mimpi itu, aku sedang menikmati senja di sebuah taman bunga, disana penuh bunga, mereka sangat cantik. Anehnya adalah, tidak satu pun kulihat ada kupu-kupu berterbangan disana.
Aku sendirian, tak berkawan. Lalu kemudian datanglah burung-burung camar penghias langit diatas hamparan laut ke taman itu. Tidak terlalu banyak, hanya ada beberapa. Aku lalu bercengkerama singkat dengan mereka. Ternyata aku bisa berbicara dengan mereka. Ah.

“Kalian untuk apa disini ? bukankah harusnya tempat kalian diatas hamparan laut biru nan indah itu ?”

“kami disini untuk berkawan dengan mu, bukankah kau sendirian disini tanpa siapapun ?”

“ah iya. Aku kesepian hingga ingin menangis. Disini membosankan, aku tidak begitu menyukai bunga. Tapi, bisakah kalian membawaku terbang bersama kalian sekali ini saja ?”

“Tidak. Kau tidak bisa, kau tidak punya sayap seperti kami.”

“bisakah kau meminjamkan aku ? sayap...”

“tidak, kau manusia. Kau berbeda.selain itu, sayap ini hanya titipan Tuhan kami.”

Minggu, 25 Desember 2011

You can’t blame someone for walking away, if you didn’t do anything to make them stay”.

Selasa, 29 November 2011

Maafkan, aku...

"Maafkan aku, hanya saja aku terlanjur menyukai orang lain di waktu yang sama saat kau tetap memendam rasa itu. Sudah lama bukan, kau membiarkannya bersemayam dihati mu? Yaa, ku rasa saat itu aku terlanjur menyukai orang lain..."

Masih ku ingat kata-kata itu, saat dengan getir ku katakan padanya aku menyukainya. Tapi, dengan cukup lantang ia mengatakan maaf itu. Sakit sekali saat mengetahui kenyataan bahwa mencintai seseorang tetapi orang tersebut justru mencintai orang lain.

Sesaat setelah ia mengatakan kalimat itu, kami hanya diam. diam tanpa satu katapun keluar dari mulut kami masing-masing. Hening. sementara diluar sana, hujan deras sedang membasahi ibukota. ingin sekali aku menangis sebagai bentuk rasa sakit yang tidak tertahankan ini. tapi, sudahlah. toh klenyataan akan tetap seperti itu, tidak akan berubah.

Hujan ini...

Deras sekali hujan hari ini, sudah berhari-hari seperti ini. tapi, aku tetap saja mengatakan hal yang sama di setiap harinya.
"Hujannya deras sekali..."

Hari ini, aku mengatakannya lagi. dibawah sisa atap Toko Buku langganan ku. yaa, aku terperangkap hujan deras ini, disini. sudah cukup lama, tapi aku terus berdiri disini, sesekali ku ayunkan tangan kecil ku pada rinai hujan yang deras itu. sesekali aku menengadah keatas untuk menatap langit saat hujan turun. Indah, putih, sepereti kapas.

lantas sesaat aku teringat peristiwa hangat kecil 4tahub silam, entah mengapa peristiwa itu sangat jelas dipikiran ku. aku tersenyum.

4tahun yang lalu, aku juga terjebak hujan di tempat ini, di Toko Buku ini. hanya saja, waktu itu aku bersama sosok pria yang juga dengan sialnya terjebak hujan mendadak saat itu. ditemani rinai hujan deras itu, aku dan orang itu seperti anak-anak memainkan air hujan yang indah itu. masih ku ingat dengan lembutnya, dia memberi tahu namanya dengan sedikit tersipu.
"Dimas, namaku..."
lalu aku tertegun mendengar suara lembut yang mendadak itu, ku tatap dirinya sesaat setelah suara itu, lalu aku tertawa. Kami... kami tertawa geli bersama dengan malu yang tidak bisa bersembunyi di wajah kami, bersama hujan yang tak kunjung berhenti, sore itu.

Siapa seseorang itu ?

Kamu sendiri ngapain disini?” ia mulai bertanya padaku.
Ah ini, aku mau memasukan tugas. Hari ini hari terakhir pengumpulannya” balas ku sembari membuka-buka buku yang dibawa Nina.
Setelah itu, suasana menjadi hening, cukup lama sehingga aku merasa bosan dan memutuskan untuk meninggalkan Nina dan segera mengantarkan tugas ku pada ketua tingkat kelas ku.

45 menit kemudian aku kembali ditempat yang sama, Nina masih ada, disana.
Belom pulang, Nin?” tanya ku.
Aku sedang menunggu, seseorang...” jawabnya dengan santai dan menutup buku yang sedari tadi dibacanya.
Siapa?” tanya ku dengan sedikit kaget, Nina sedang menunggu seseorang, bathinku.
Teman ku, aku janji akan pulang dengannya. Maaf ya, aku hari ini absen dianterin kamu dulu, gapapa kan?” Jawabnya, selalu saja dengan tersenyum. Aku tidak mengerti mengapa Nina selalu tersenyum seperti itu, dia tidak tahu, senyum itulah yang selalu membuat hatiku berdebar dan pernah sekali tak bisa ku bendung degupannya.
Oh, oke. Aku juga mungkin masih akan lama disini...” balas ku.
Ponsel Nina berdering, sepertinya ada pesan masuk, dan benar saja. Setelah membaca pesan itu, Nina pamitan pada ku untuk pulang duluan. Aku mengiyakan sembari bertanya dalam hatiku.

Ini tidak biasanya, siapa orang yang ditunggu Nina? Siapa yang berjanji pulang dengannya? Teman perempuankah? Atau seorang lelaki?” ah, aku benar-benar tidak tahu. Sesaat kemudian, lamunan ku buyar oleh suara dari arah belakang ku yang meneriakkan namaku.

****

(Sudut pandang, Nina)

Kita mau kemana?” tanyaku dengan wajah ceria.
Seperti janji kemarin, kita nonton dulu, eh tapi kamu udah makan?” tanya orang itu.
Jujur saja, cacing-cacing di perutku sudah berdemo dari sejam yang lalu...” jawab ku sedikit bercanda.
hahaha, kalau begitu kita makan dulu, setelah itu baru nonton. Aku tidak mau kau mengacaukan seisi bioskop dengan berteriak sakit perut karena belum makan siang ini”
Lalu kami tertawa dalam hening yang kami ciptakan sendiri.

****

Thanks buat hari ini, ya...” ucap ku kepada orang itu.
Sama-sama, aku juga makasih sama kamu.” jawabnya dengan senyuman. Ah aku menyukai senyuman itu. Senyum yang selalu ingin ku lihat sejak semester kemarin. Aku, menyukai orang itu.

Dia lalu pamit pulang, aku pun masuk, kedalam rumah ku yang besar ini, rumah ku yang selalu sunyi, rumah ku tempat ibu dan aku melewati tahun ke tahun sejak perceraian itu. Hanya ada aku, Ibu dan juga orang-orang yang ku hormati, Bibi yang setiap harinya membuatkan aku dan ibu sarapan dan makan malam, juga merawat rumah ini, Pak Imin yang setiap harinya membersihkan halaman rumahku, dan juga Pak Salim yang menjadi supir kemanapun ibu dan aku pergi.

Ibu selalu mengajarkan ku untuk selalu menghargai dan menghormati mereka, ibu pernah berkata “Jangan pernah kamu melihat mereka sebagai pembantu dirumah ini, lihatlah mereka sebagai orang tua seperti ibu yang harus kau hormati”. Ibu memang wanita yang baik, aku bahkan tidak mengerti mengapa perceraian itu terjadi. Tapi, ku putuskan untuk tidak memikirkannya lagi, karena aku tahu ada hal yang memang mungkin tidak akan dimengerti oleh pikiran ku.

*****

Rabu, 23 November 2011

Nina, sahabat ku...

Siang itu kampus terlihat sepi, biasanya jam segini banyak sekali mahasiswa yang berkeliaran di seluruh penjuru kampus dengan kegiatannya masing-masing. Mungkin karena cuaca yang tidak mendukung. Yaa, hujan baru saja reda, yang tersisa hanyalah gerimis kecil yang cukup membuat basah jika berjalan dibawahnya tanpa perlindungan.

Aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiswa yang mendadak menghilang hari ini. Tapi, sayang aku harus datang ke kampus karena ada tugas yang harus dikumpulkan sore ini sebelum Ashar. Sekarang sudah pukul 14.47 WITA.

Ku susuri jalan menuju gedung fakultas ku dengan setengah berlalri, berlindung dibawah jas almamater yang semenjak tadi sudah ku jadikan payung. Jarak untuk sampai ke gedung fakultas sudah lumayan dekat tapi ku hentikan langkah ku untuk sekedar melihat apakah yang duduk disudut sana itu, temanku. Ternyata benar, penglihatan ku memang selalu benar. Itu, Nina.

Sahabat ku, Nina namanya. Sahabatku sejak SMA dulu. Kebetulan kami berada dalam satu wadah pendidikan yang sama, lagi. Hanya saja, Nina adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 4 dan aku mahasiswa FISIP dengan semester yang sama. Walaupun tidak berada di gedung yang sama, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk sekedar makan ataupun ngobrol bersama. Sampi saat ini, itulah yang menjadi kebiasaan kami di kampus. Nina dulu adalah orang pertama yang ku kenal saat SMA, dia adalah orang pertama yang dengan senang hati mengulurkan tangannya ketika aku mengatakan “Hai…”, dia juga selalu menjadi orang pertama yang ingin ku tanyakan pendapatnya jikalau ada sesuatu yang mengganjal dipikiran ku. Dan samapi sekarang, masih seperti itu. Nina adalah gadis terbaik yang pernah kutemui saat itu hingga sekarang, dia cantik, senyumnya menawan, ramah dan cukup pintar. Aku sampai bingung, ibunya makan apa sampai bisa melahirkan anak sebaik dan sepintar dia.
Ku rasa sudah cukup bercerita tentang Nina.

Aku melanjutkan langkah ku, kali ini bukan untuk ke fakultas tetapi ke tempat dimana Nina duduk dengan buku-bukunya.

Hei, serius bener. Ngapain sih sendirian disini?” aku memulai basa-basi ku.
Ah, kamu res. Biasalah…” jawab Nina dengan masih membaca bukunya.
Aku memang tau kebiasaannya, kalau kelas sudah selesai, Nina pasti mencari tempat nyaman selain perpustakaan untuknya membaca buku. Aku juga tidak mengerti kenapa Nina tidak pernah membaca buku di perpustakaan, selain dia tidak mengatakannya, aku juga tidak bisa menerka alasannya. Tapi, ini salah satu alasan mengapa aku ber-empati kepadanya, Karena ia berbeda dari gadis lain sebayanya yang menghabiskan waktu dan uangnya di Mol. Bukan karena dia tidak punya uang, jujur saja Nina adalah anak salah satu konglomerat di Indonesia, ibunya seorang pengcara. Hanya saja, mereka sudah bercerai sejak Nina kelas 3 SMP. Iyaa, nina adalah salah satu dari sekian banyak anak broken home. tapi itu lantas tidak membuatnya terjerumus pada lingkungan pelarian yang banyak anak-anak lainnya lakukan. Ia cukup dewasa menangani masalah itu, dan ini juga salah satu mengapa aku ber-empati padanya. Ada banyak alasan mengapa aku ber-empati padanya.
Sejak SMA, kami memang sudah dekat oleh karena itu aku tau banyak tentangnya. Dia juga tau banyak tentang ku.


Minggu, 09 Oktober 2011

First Posting

halo ini tulisan pertama gue. iyaa ini pertama kalinya gue nge-blogging. sebenernya bikin blog udah beberapa kali yaa. cuma abis bikin blognya gue gembelin gitu aja. abisnya gue gaptek, gatau gimana caranya maen blog -___________-. gue taunya maen monopoli. apalagi monopoli zaman SD, beehhh keren bet. soalnya maen monopoli tuh kek belajar jadi orang kaya haha. maen monopoli juga seruuu bet. apalagi kalo kalah, banyak utang di bank. rumah sama hotel gadein sana sini haha. kalo udah gituu gue suka undur diri dari permainan, ga asik kalo udah kalah. tapi kalo jadi kaya raya dan yang laen pada ngutang ke gue semangat maennya. HAHAHA. eh anw, kok jadi ngomongin soal monopoli yaa? -_- maaf epe pe pemirsah.
Ohyaa, pada nonton PPI semalam ga? udah tau dong yaa siapa PI 2011. Iyaaa, Maria Selena wakil Jawa Tengah cantik yaa dia. puassss sama keputusa juri kali ini. iyaa, taun lalu ga puas. jangan tanya alasannya. gada alasan.
So, here's she. Maria Selena :)

cantik kan, menurut gue juga dia pinter. jawabannya buat pertanyaan paling ahir juga beda banget dr dua finalis lainnya. standar jawabannya tinggi.
dia ngegantiin PI taun lalu, Nadine Alexandra.

dia ini artis kan ya? kalo ga salah pernah nonton dia gituuu.
eh iyaa, ini ada biodatanya Maria Selena yang gue ambil dari sini.

Nama : Maria Selena
Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 24 September 1990
Pendidikan : Sekolah Bisnis Manajemen, Institut Teknologi Bandung (ITB)
Perwakilan : Jawa Tengah
Alamat Pagefan Facebook Maria Selena Putri Indonesia 2010
Maria Selena merupakan peserta Pemilihan Putri Indonesia 2011 yang mewakili Provinsi Jawa Tengah.  Perempuan cantik nan ayu ini lahir 24 September 1990 di kota Palembang, Sumatera Selatan. Saat ini wanita cantik ini sedang menempuh pendidikan di Sekolah Bisnis Manajemen (SBM), Institut Teknologi Bandung (ITB). Keberhasilan dan kemampuannya menjawab seluruh pertanyaan dewan Juri dengan Lancar membuat dirinya meraih gelar ini.  Adapun para juri dari Puncak Puteri Indonesia ini yaitu Bernada Sukma Harahap (Ketua Umum DPP ASITA), Fira Basuki MA (Editor in Chief Cosmopolitan Indonesia Magazine), Artika Sari Devi (Puteri Indonesia 2004), Dr Triyadi (Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Sosial), Drg Ida Suselo Wulan MM (Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial, Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Achirina Soetjitro (Direktur Strategi Pengembangan Bisnis dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia), Amir Husein (General Manager PT Mustika Ratu), Nurul Arifin (Anggota DPR RI), Rusian Prijadi PhD (Ketua Departemen Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), dan Erwin Aksa (Ketua Umum BPP HIPMI).

Sekian dulu yaaaaa. anyeong ;)

Kamis, 13 Januari 2011

“Aku memang telah pergi, dan tentu kali ini untuk tidak pernah kembali lagi. Jagan menangisi kepergian ku seperti ini, ini sudah sebulan dari hari aku diistirahatkan. Memang menyedihkan melepas kepergian  orang yang sangat berarti. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi, sudahlah, cukup saat hari itu saja. Lanjutkan hidup mu. aku sudah “disini”. Hiduplah kembali dengan normal, aku yakin sudah banyak yang kau lewati sebulan ini. Diluar sana ada banyak orang yang juga merasa kehilanngan mu. berhentilah menangis. Aku juga sedih melihat mu seperti ini, jika kau memang mencintai ku, doakan aku. Itu sudah cukup. Semua orang akan pergi, semua hanya soal waktu. Seperti aku ini, waktu ku sudah habis, sudah saatnya aku pergi. Kau masih punya waktu, berbuat baik dan tetap seperti dirimu yang dulu, yang aku cintai dengan segenap jiwa ku.”

Kata-kata itu masih terngiang di telingaku, wajahnya saat mengatakan itu masih terekam jelas di pikiran ku. Aku bermimipi. Semalam aku bermimpi, mimpi indah bertemu kekasih ku, kami bertemu di taman hijau yang penuh dengan tirai sutra berwarna putih. Udaranya segar, disana sangat harum. Tenang dan juga damai. Benar katanya, aku tidak seharusnya seperti ini. Tenggelam dalam kesedihan yang sebenarnya sudah cukup. Aku memandangi foto itu, foto kami berdua, lalu tersenyum.