Jumat, 06 April 2012

Buku Baru


Kala itu di suatu pagi saat matahari tengah naik untuk lebih menyinari isi bumi. Aku hendak berjalan, menyusuri jalanan ibukota yang masih pagi sekali sudah sangat sibuk dan gaduh. Suara klakson dimana-mana, polusi yang ditimbulkan bajaj, motor, dan kenderaan lainnya mengepul menyatu. Menyesakkan jika menghirupnya. Saat itu benda-benda mati yang kerap menjadi alat untuk menuju kemana saja itu ‘stuck’ pada tempatnya, berpindah tempat centi demi centi, membuat gerah, marah, dan kesal para orang-kaya. Tapi, ini ibukota. Ya, ibukota. Sejak pertama kali turun ke jalanan, aku dengan cepat mengerti bagaimana cara jalanan ibukota dipermainkan manusia-manusia itu. Bagaimana jalanan ibukota hampir tidak bisa menampung semua benda-benda mati berjalan itu dalam waktu tertentu.

Memuakkan.

#CeritaHariIni tentang tempat yang kebetulan ku lewati saat mencari keping-keping uang juga lembaran berarti. Tempat yang kali pertama kulihat begitu ramainya. Memang riuh, namun rasanya mendamaikan. Memang banyak yang menghuni, namun seperti menyenangkan berada disana. Kala itu, dengan seonggok perasaan ingin tahu, aku berjalan mendekat pada tempat itu. Lebih dekat dan akhirnya menjadi sangat dekat. Kupandangi mereka, kucermati bagaimana mereka bertingkah. Mereka yang ceria, mereka yang rapi, berseragam sewarna dan selaras. bersepatu bersih, juga memakai dasi merah kecil. Persis seperti lelaki bertubuh gagah yang kerap kutemui didalam kenderaan beroda empat saat meminta apa yang semua orang (sangat) butuhkan untuk bertahan hidup di ibukota. Memakai dasi. Hanya saja dasi orang-orang ini berwarna sama. Aku tersenyum melihat betapa girangnya mereka. aku bahkan tertawa saat kulihat ada beberapa orang yang berlarian lalu entah apa sebabnya satu orang didepan jatuh lalu disusul oleh mereka yang dibelakang. Mungkin terkilir. Mungkin disengaja. Mungkin memang peraturannya seperti itu. Entahlah.

Sejak saat itu, tempat itu berhasil menduduki posisi pertama daftar tempat yang ingin ku kunjungi setiap harinya. Menggeser Dunia Fantasi sebagai pemilik lama posisi pertama.
Keesokan harinya, dengan membawa lebih dari seonggok perasaan ingin tahu. Aku kembali ke tempat itu, melihat pemandangan yang masih sama dengan hari kemarin. Rupanya ini yang bernama Sekolah. Sekolah tempat orang-orang belajar menimba ilmu pertama kali. Sekolah Dasar kata ibuku semalam. Ya. Aku menceritakan tentang tempat ini padanya, kukatakan pada wanita yang sangat ku hormati itu tentang betapa menyenangkan tempat itu. Aku menceritakan  semua yang kulihat padanya. Pada Ibuku. Satu-satunya yang kumiliki.

“Ibu... tadi saat di jalanan, aku tidak sengaja melewati sebuah tempat. Tempat itu sangat menyenangkan, melihat cara mereka tertawa menikmati yang mereka lakukan. Mereka berpakaian sama, Bu. Warnanya sama seperti warna daster ibu ini. Memakai dasi juga sepatu bagus. Sangat rapi. Sangat beda denganku. Disana ada banyak ruang, ada banyak tanaman, ada sebuah tiang bendera juga ada lapangan besar. Itu tempat apa, Bu? Aku ingin sekali masuk kesana. Bisakah aku?"

Ku ceritakan panjang lebar pada Ibuku yang terbaring lesu diatas tumpukan lembaran kardus kasar. Ibuku sudah lama sakit. Untuk bangun dari kardus tempat beliau tidur saja kadang seperti tidak mungkin. Tetapi ia selalu mendengarkan cerita-cerita yang kubawa saat pulang.
Dengan lemah Ibuku menjawab:

“Itu Sekolah, nak. Sekolah Dasar. Tempat orang-orang belajar pertama kali. Sayang, untuk masuk kesana, kamu harus punya apa yang menjadi syarat. Dan Ibu tidak bisa memberikan itu. Maafkan ibu...”

Begitu percakapan kami semalam. Ibuku meminta maaf karena beliau tidak bisa membuat aku bisa masuk kesana. Ke sekolah itu. Aku masih tidak paham dengan apa yang diharuskan itu. Sebab saat aku ingin bertanya lagi, ibuku terlihat terlalu lemah untuk berbicara banyak. Kuputuskan untuk nanti saja kutanyakan, saat aku bisa membelikan Ibu obat, lalu ia bisa meminumnya dan punya tenaga walau sedikit. Aku butuh Ibu dalam hidupku.

Saat ini tempat itu sedang diliputi hening. Entahlah, saat mendengar bunyi lonceng yang entah darimana datangnya, mereka berhenti bermain dan bergegas masuk ke ruangan-ruangan itu. Aku semakin penasaran, lagi-lagi dengan bermodal perasaan ingin tahu, aku mencari-cari celah agar aku bisa melihat sedang apa mereka didalam sana. Aku benar-benar ingin tahu. Dan, BINGO! Kudapati sebuah celah kecil pada dinding belakang ruangan tempat mereka masuk tadi. Celah kecil yang sangat ku syukuri karena dengan ini aku bisa melihat apa yang mereka lakukan didalam sini. Memang sulit, tapi aku begitu menikmatinya. Mereka sedang belajar. Rupanya ini yang namanya belajar, menimba ilmu. Duduk rapi dan cukup dengarkan apa yang wanita seperti Ibuku itu katakan. Samar-samar aku mendengar suara wanita didepan ruangan itu.

Besoknya lagi. Aku kembali ke tempat ini, kali ini dengan sebuah buku tulis tipis yang tidak sengaja kutemukan di tempat sampah dekat rumah kardusku. Kemarin aku melihat mereka menulis pada buku seperti ini menggunakan seperti kayu lurus kecil yang akhirnya ku tahu bahwa itu sebuah pensil. Alat untuk menulis. Dan kini, disinilah aku sekarang. Dibalik dinding putih yang kini pudar oleh waktu. Mendengar, melihat, menulis, memahami seperti yang mereka lakukan didalam sana. Kegiatan ini terus kulakukan setiap hari. Sampai pada satu hari aku kembali kesini namun tidak kudapati mereka didalam sana. Rupanya hari minggu sekolah libur. Kata Ibuku. Aku pulang dengan kecewa.

Namun setelah itu, aku mengerti, aku sudah hafal hari-hari dimana mereka tidak pergi ke sekolah. Aku datang pagi sekali, bahkan saat mereka belum kelihatan seorangpun. Namun saat kembali, aku kembali dalam waktu yang sama seperti mereka. begitu seterusnya. Sampai pada satu pagi di suatu hari. Aku sedang mendengarkan apa yang Guru (Akhirnya aku tahu bahwa wanita itu seorang Guru. Seseorang yang mengajarkan pelajaran) itu terangkan didepan. Lalu dengan kagetnya aku, saat kurasakan sebuah tangan memenuhi pundak kecilku. Ia sedang berdiri dihadapanku. Dengan senyum yang merekah. Ia memberikanku sebuah Buku Baru. Orang itu, salah satu murid di Sekolah itu.

Jumat, 30 Maret 2012

Dunia Kecil


Sekolah adalah poros dari segala rasa yang hinggap dalam hidupku. Paling tidak untuk saat ini. Aku menyebutnya: Dunia Kecil. Dunia yang selalu berwarna dan melahirkan banyak cerita untuk kita yang berada didalamnya nikmati. Seolah semua cerita sudah terangkai rapi seperti bunga di Toko Bunga, hanya tinggal memberikan pada siapa saja yang datang. Ya, siapa saja yang datang tanpa harus membawa lembaran uang ataupun kepingan berarti.

Dunia Kecil yang siap menyedotmu kedalamnya untuk kau nikmati segala sesuatu yang ada disana. Disana kau hanya diberi waktu seadanya, sesuai yang dirumuskan. Jika saatnya tiba, seperti nafas yang tak selamanya menemani rongga hidungmu, kau akan keluar. Keluar dari dunia kecil yang selalu melahirkan cerita Indah yang nantinya akan kau sebut mereka kenangan karena waktu yang tak bisa kau tahan gerakannya. Dan saat itu telah tiba untukku. Aku berharap semoga tidak ada tambahan waktu untukku untuk lebih lama lagi disini. Memang indah ceritanya, tapi aku benar-benar harus bergegas menyambut dunia yang lainnya yang juga sedang menungguku. Aku tahu itu.

#CeritaHariIni. Simaklah. 

Hari ini semua akan berbeda. Ya, semuanya. Hari ini sudah kami tunggu datangnya. Hari berarti dimana kepergian kami akan ditentukan oleh secarik kertas. Bukan. Bukan kertas itu yang akan mengubah kami, tapi sebuah kata yang tertera didalamnya yang akan mengizinkan kami pergi dari dunia kecil ini. Ya. Sebuah kata yang tersusun rapi oleh lima huruf yang tegak berdiri. Dua huruf berulang dan satu huruf mengakhiri. Kalian pasti tahu maksudku.

Kata itu yang kami semua harapkan tertera didalamnya. Hanya kata itu, tidak perlu ada kata lain yang menemani. Cukup itu saja.
Dunia kecil ini sedang diselimuti hening. Hening yang menyimpan segala cerita masing-masing dari kami. Hening yang penuh doa orang-orang tua juga para pahlawan tanpa tanda jasa. Hening yang dikelilingi harapan atas perjuangan. Hening yang berarti.
Masih ada 10 menit lagi pengumuman akan dilaksanakan. Tapi semua sudah rapi. Lantai aula yang juga kecil hari ini terlihat lebih bersih dari biasanya. Diatasnya, tertata dengan begitu rapi, sebaris dengan warna selaras, bangku-bangku itu, bangku sekolah. kemudian meja panjang didepan. Juga sound system yang akan membantu suara apapun agar terdengar lebih keras dari biasanya. Hari ini memang penting. Hanya terjadi setiap beberapa tahun sekali.

Masih ada 10 menit. Ku ajak kakiku untuk sekedar mengelilingi Dunia Kecil kami. Dalam perjalanan singkat ini, ku lemparkan pandanganku ke segala penjuru, menerobos masuk ke dalam ruangan-ruangan kecil, juga setiap sudut dimana ada kenangan menari disana, bernyanyi mengibur setiap orang yang melihatnya. Pandanganku tiba-tiba terhenti oleh sebuah pandangan menarik, kulihat ada sebuah bangku yang menyendiri dari kerumunan sesamanya. Hanya ada dia sendiri di belakang sini. Perlahan kudekati dirinya, mendudukinya, lalu kemudian memandang langit siang hari, juga dunia kecil ini sepanjang yang terjangkau oleh mataku. Kutarik napasku perlahan dengan hikmat, lalu mengeluarkannya juga perlahan. Aroma dunia ini, aku ingin menghirupnya sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sudah waktunya. Aku berjalan kembali ke aula tempat semua bersarang memanjatkan doa didalam hati.

Kali ini aula lebih hening dari yang tadi. Lalu akhirnya, kepala sekolah selaku presiden dari Dunia kecil ini memulai pembicaraan, kemudian juga guru disebelahnya, lalu yang disebelahnya lagi. Tak ada yang membuat gaduh kali ini, tak seorangpun dari kami. Tak seperti biasanya. Ya, memang hari ini berbeda.

Acara talk-show sudah selesai. Kini tiba pada saat yang sangat dinanti. Dibagikannya orang tua dari kami sebuah amplop yang didalamnya bersembunyi secarik kertas kecil yang diatasnya tertera sebuah kata yang paling berarti dari kata apapun saat ini.

“Dalam hitungan ketiga, Bukalah!”

Kepala sekolah memimpin, dalam hitungan ketiga, kami membuka amplop itu, membuka perlahan karena sebenarnya rasa takut itu tetap bersemayam disamping rasa bahagia kami. Berdampingan.

“LULUS”

Kurasakan pelukan hangat dari ibuku, benar-benar hangat, tangisnya benar-benar melumpuhkanku. Aku pun hanya bisa menangis dalam dekapnya. Kulihat hal yang sama terjadi di aula ini. Segala bentuk ekspresi haru ada disini. Aku tidak bisa menjelaskan lagi. Kucari semua temanku, dan berpelukanlah kami. Dalam tangis bahagia. Kucari seluruh guru yang mengajariku selama tiga tahun ini, ku peluk mereka, dalam haru tak terjelaskan. Aula yang tadinya hening tanpa hingar itu, kini gaduh oleh suara-suara bahagia dari semua yang berada disini.

Semua sedang sibuk melukis seragamnya masing-masing. Kami semua. Setelah mendapati segala bentuk coretan di seragamku. Ku ajak kembali kakiku berjalan menyusuri dunia kecil ini. Kali ini dengan tatapan lebih bahagia dari yang tadi. Aku akan merindukan segalanya. Lantai ini, halaman ini, kelas ini, seragam ini, orang-orang didalam sini, semua yang terjadi disini, kenangan ini. Benar-benar menakjubkan. 3 tahun yang kupikir akan sangat lama itu kini terasa sangat singkat. Aku baru saja menerima izin untuk segera meninggalkan dunia kecil ini. Masih berjalan menyusurinya, kudapati bangku itu lagi. Masih berada disitu. Belum berpindah sedikitpun.


“Kamu benar-benar sangat berjasa.”

Ucapku pada bangku itu. Aku tahu ia mendengar, hanya tidak bisa untuk berbicara. Oh tidak. Ia bisa berbicara, hanya saja aku yang tak akan mendengarnya apalagi untuk paham.
Sebenarnya ada yang lebih berjasa dari ini, tapi aku selalu menghargai Benda mati yang satu ini. Ia sungguh sangat penolong dalam segala hal, dengan ikhlas dia terima saja diduduki kami semua, ditimpah oleh organ tubuh kami yang... yang... ah sudahlah. Ha ha ha. Bayangkan jika tidak ada dia di dalam dunia kecil ini, aku bisa apa? Penduduk di dalam dunia ini bisa apa? Tentu kami tidak bisa duduk dilantai yang bahkan bukan lantai marmer itu. Meski tua tubuhnya, ia tetap bertahan menahan beban berat tubuh kami yang jika saat duduk bertumpu pada satu yang menempel padanya. Tidak peduli ada berapa nakal atau hanya iseng saja murid-murid itu mencorat-coret tubuhnya, ia tetap selalu menjadi penopang kami. Selalu menjadi tempat yang selalu membawa “Ah-Akhirnya” saat kami lelah selesai bekerja bakti atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Ia selalu menjadi tempat tujuan. Meski kadang ia ditendang, diinjak dengan telapak sepatu kotor penuh debu, ia selalu ada disana. Belum lagi kalau ada murid yang tak tahu sopan, buang angin diam-diam. Hanya dia, bangku itu, juga Tuhan yang tahu. Tidak peduli apa yang menimpanya setiap hari. Ia tetap seperti itu setipa hari. Patuh. Meski kutahu ia tak benar-benar mati. Aku percaya mereka berbicara. Dengan bahasa yang sudah pasti takan pernah kami dengar atau bahkan kami mengerti.

“Aku akan merindukanmu. Sebab diluar sana tidak akan ada yang sepertimu. Bangku Sekolah.”

Jumat, 23 Maret 2012

Sihir Cinta.


Aku masih disini, sendiri di tempat yang sama sejak.. sejak daritadi. Maksudku daritadi adalah porsi waktu yang cukup lama. Ya, cukup lama. Duduk tanpa teman yang bisa diajak bercerita sudah biasa untuk ku. Aku bisa duduk nyaman berjam-jam tanpa siapapun dihadapanku ataupun disampingku. Bukan. Bukan tidak ada yang mau membuang sedikit waktunya untuk berbicara denganku, bukan juga karena aku tidak punya satupun teman disini. Hanya saja, aku lebih nyaman sendiri tanpa siapapun. Bukan berarti aku tidak ingin bergaul dengan yang lainnya, bukan ingin menjadi berbeda dan tak mau menjadi bersosialisasi seperti yang lainnya. Aku hanya, menikmati sepi tanpa hingar, aku juga tidak begitu menyukai keramaian. Aku lebih menikmati duduk sendiri dengan membaca buku daripada mengobrol soal pacar ataupun sale di mall dengan teman-teman perempuanku. Anehkah ? entahlah.

Aku melihat jam tanganku, 18 menit lagi tepat satu jam aku duduk disini. Tebak berbuat apa ? hanya untuk memandangi orang itu dari titik yang (lumayan) dekat dengannya. Bodohkah memandangi seseorang selama hampir satu jam hanya untuk melepas rindu ? entahlah.

Jadi, #CeritaHariIni masih tentang “Rindu”.

Biasanya aku duduk disini ditemani sebuah buku. Hari ini tidak, aku mendedikasikan waktuku kali ini hanya untuk melihatnya. Sudah 2 hari aku tidak bertemu dengannya. Entahlah, aku mencarinya tapi dia seperti menghilang. Dan kali ini ada kesempatan bertemu dengannya, tentu saja aku tidak akan melewatkannya. Tidak sekalipun. Karena aku, merindunya. Seperti rindu tanah kering pada hujan yang tak kunjung datang.

Sudah 42 menit yang kulakukan hanya terus memandanginya, melihatnya berbicara dengan orang itu. Mengamati cara dia bertutur kata, cara dia tersenyum dan tertawa dengan orang itu. Tidak apa dia bukan disampingku, tidak apa dia bukan milikku. Asal setiap aku memandang mencarinya titiknya, aku selalu menemukannya, asal setiap aku berbalik belakang, dia selalu ada disitu. Itu sudah cukup. ya cukup.

Bukankah cinta tidak selalu saling memiliki ?

Aku masih melamun, seperti terkena hipnotis olehnya, oleh gerak-geriknya.

“DHEG. DHEG. DHEG”

Kurasakan debar yang hampir tak bisa kubendung. Dia. akhirnya memandang ke arahku, dengan senyum dan lambaian tangan khasnya. Aku kaget, lamunanku buyar. Sekarang aku pasti terlihat bodoh didepannya.
Senyum itu yang selalu membuatku luluh, yang selalu membuatku tak bisa selalu tepat akan membalas apa. Senyumnya seperti sihir. Sihir Cinta.

Aku akhirnya membalas senyumnya dengan sedikit wajah yang entah seperti apa sekarang. Tidak bisakah dia mengatakan terlebih dahulu bahwa dia ingin tersenyum padaku ? hanya agar aku bisa menyiapkan balasan seperti apa yang paling tepat. Ha-ha-ha gila. Aku pasti sudah gila.

Setelah melemparkan senyuman maut kepadaku, ia kembali berpaling pada orang didepannya, kembali dengan cerita mereka.

Aku hanya bisa memandanginya lagi, menyisakan senyum khas di bibirku.
Andai aku yang ada disana, didepannya. Tapi kenyataan menyadarkanku, bahwa disinilah aku.

Bagiku, untuk orang dewasa, senyum tidak selalu berarti bahagia. Orang dewasa yang tersenyum bisa saja untuk menutupi segala bentuk rasa kecewa, sedih atapun rasa sakit. Tersenyum seperti itu rasanya menyakitkan, aku tau pasti rasanya. Sebab sejak menaruh perasaan ini padanya, aku sering melakukannya. Tidak peduli ada seberapa sakit luka dibaliknya, aku tetap tersenyum. Selalu seperti itu.

Kalian tahu apa yang paling menyedihkan dari sebuah senyuman ?
Pertama adalah menyadari bahwa kalian tidak benar-benar ingin tersenyum. Dan yang kedua adalah luka tak terjelaskan dibalik senyum itu sendiri.

Semoga nanti, entah kapan, akan ada ruang untukku dan cintakku di dalam hatinya. Hingga aku akan tersenyum kepadanya, layaknya makna senyum yang sebenar-benarnya. Senyum bahagia.

Selasa, 14 Februari 2012

Surat Kecil Untuk Kak Citra.

Kepada Kak Citra, di Penhujung kiri Indonesia, di Medan.
Aku sudah lupa, kapan kita pertama kali bertegur sapa, di social media.
Tapi, aku ingat alas an apa yang membuatku akhirnya, me-follow akunmu kala itu. Ya, kita sama-sama menyukai serial sahabat yang kala itu tayang di sebuah stasiun tv yang sekarang marak menghidangkan tayangan audisi boband juga girlband yang menurut ku: “Ah-Uh-Matiintvable” XP

“Follow baaaaaaack, dooong :D”

Kira-kira seperti ini kalimat yang menghantarkan ku pada sebuah tali pertemanan maya, yang berinteraksi lewat tulisan.

Kamu. Kakak yang selalu mendengar ceritaku, entah itu cerita tentang cintaku, hidupku yang penuh like, bahkan hal yang sekalipun kurang penting. :D
Terima Kasih untuk semua gelak tawa yang selalu kamu suguhkan untukku, untuk segala nasehat yang selalu menenangkan dan meredam gundahku.

Seperti saat itu. Aku ingat. Di satu pagi, pada suatu hari. Aku. Dengan tanpa ragu mencurahkan semua kekesalanku pada linikala twitter tentang kegaduhan yang dibuat Ayah Ibuku, saat matahari belum lama menyinari bumi.
Kamu, bertanya padaku, apa yang membuatku seperti itu. Lalu aku menjawab dengan jujur seperti selalu, dank au pun sebenarnya sudah tahu tentang apa yang membuatku marah se-pagi itu. Kamu, juga adikmu yang sudah kuanggap seperti dua orang kakak.
Mengatakan paaku bahwa itu, hal biasa dalam keluarga. :’)

Jujur saja, seluruh tubuhku marah saat itu. Lalu, kalimat itu. Meredam paling tidak separuh dari amarahku.
Lalu, saat aku dengan gigihnya menutupi kesedihanku. Kamu adalah tempat yang selalu kubuka tentang apa itu. Aku tidak tahu, hanya saja, aku merasa nyaman berbicara denganmu juga adikmu itu. Tiwi.

Dan, jujur saja. Kalian berdua orang pertama yang mendengar suaraku. :D

Terima Kasih untuk sebuah kehangatan keluarga kecil yang selalu kalian suguhkan untukku.
Terima Kasih untuk segala perbincangan kita selama ini.
Jujur saja, menyenangkan bisa berkenalan dengan kalian.
Oh iya, satu lagi, Terima Kasih untuk kado ulang tahunnya yaa, kak citra :D





Stay humble, keep healthy, and Semangat yaaa. Xoxo XD

Sabtu, 04 Februari 2012

Aku hanya terdiam, pandangan ku belum lepas pada sosok yang kini terbaring tak berdaya lagi diranjang itu. Tidak menangis, hanya tetap diam. Bukan, bukan karena tidak terluka dan berduka, justru karena terlalu berduka dan terluka menusuk di dalam hati, aku hingga tak bisa mengeluarkan airmata itu. Lalu semua terasa gelap, pandangan ku mendadak buram, tak bisa lagi kulihat sosok itu.

5 tahun kemudian...

Kepada nisan itu aku bersimpuh, tak ada lagi tangis hati itu, hanya sebuah senyum yang kini merekah di bibir ku. Ku letakan mawar putih itu tepat diatas tanah basah tempat dimana orang itu beristirahat selama ini...

“Aku mencintai mu, seperti hari kemarin saat kau dengan senyum mu itu melindungiku dari hujan deras saat itu, seperti hari kemarin, hari ini juga hari yang akan datang. Semoga kau tenang di alam sana, doa ku selalu menyertai mu... Kekasih ku.”

Rabu, 01 Februari 2012

"Untuk anak lelaki pemalu tujuh tahun lalu" #30HariMenulisSuratCinta


Hei, kamu yang wajahnya yang masih terekam (agak) jelas di ingatanku.
Kamu yang tujuh tahun lalu, selalu menghiasi hari saya di Sekolah, selalu menjadi semangat saya, motivasi saya untuk rajin menimba ilmu di Sekolah yang sangat membosankan itu.

Apa kabarmu ?
Semoga baik-baik saja seperti selalu saat tujuh tahun yang lalu. Hehe :)

Bagaimana ? apa penyakit (terlalu) pemalumu sudah sembuh ?
Ah, malu. Membicarakan ini, mengingatkanku pada wajah meronamu saat teman-teman kita dengan sengaja merayu saya dan kamu, ketika sedang melakukan gerakan tari yang mengharuskan kamu dan saya “berpegangan tangan”.
Kamu, saya, berusaha keras menahan tawa dengan wajah merona lalu akhirnya tidak berani saling memandang.
Kamu. Lelaki pertama yang membuat saya menikmati hari dengan cinta, begitu kira-kira saat itu.
Menyenangkan bila mengingat kembali masa-masa itu. Aku, menyukai kenangan tak terjelskan itu. Sangat menyukai tepatnya.

Oh iya, kebetulan beberapa hari yang lalu, saya ke tempat teman saya, yang kamu pasti tahu siapa dia. lalu, kami pergi ke tempat itu.
Tempat saya dan kamu mengukir kenangan demi kenangan manis yang kunikmati dengan senyuman juga sebuah tawa saat mengingatnya kembali.
Tempat saya dan kamu bertemu setiap hari tanpa saling menyapa karena malu.
Tempat saya dan kamu merasakan indahnya cinta untuk pertama kali.
Sekolah itu. Sekolah Dasar saya dan kamu.

Rasanya, seperti memasuki kembali dunia tujuh tahun lalu, tidak banyak yang berubah disini.
Kelas itu, ruangan tempat saya dan kamu juga lainnya berlatih tari, halaman tempat saya dan kamu berdiri saat bermain layaknya anak-anak. Lalu, kelas kamu, tempat tugas piket menyapu saya setiap senin. Ah :’). Lucu sekali semua yang terjadi disini.

Too sweet to forget :)

Kamu. Yang entah sekarang seperti apa. Mungkin akan menyenangkan jika bertemu lagi denganmu. Kamu sekarang dimana ? :)