Untuk yang ke sekian kalinya, aku selalu mendapati bapak pagi sekali sudah mandi dan berpakaian rapi. Dinas tua yang sudah lama sekali melekat pada raganya yang renta. Ibu sedang membuatkan secangkir teh. Lelaki yang ku cintai, menyukai kopi, lelaki yang dicintai ibu justru tidak minum kopi. Ya, bapak tidak suka kopi. Begitu katanya setiap kali aku bertanya.
Bapak sudah rapi, duduk di kursinya seperti biasa. Ia sedang menyeka kacamata yang juga sudah tua seperti dinas itu, juga dirinya. Dinas dan kacamata itulah yang yang menjadi saksi hidup dan perjuangan bapak, jasa bapak.
Seperti biasa, setelah meneguk hingga habis teh buatan istri tercintanya, bapak berpamitan untuk pergi. Ke sekolah. Tempat dimana ia mengajar selama ini. Padahal harusnya ia sudah pensiun. Ibu dan aku sering berkata pada bapak untuk segera berhenti. Takut-takut bapak terlalu lelah karena masih mengajar, menghadapi anak-anak itu dengan tubuh dan usia yang sudah kepala 6. Tapi, jawaban bapak selalu sama.
“Bapak sehat, bapak ingin mengajar. Anak-anak di desa ini harus pintar.” Begitu kata beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar