Selasa, 31 Januari 2012


Ku putuskan untuk mengatakan hal pahit ini hari ini. Makan siang adalah waktu yang tepat dimana aku bisa bertemu dengannya, diluar hujan deras. Dadaku berdesir, hatiku tidak pernah se-sakit ini. Sebentar lagi....

Sudah lama aku disini, di cafe ini, tempat favorit kami mengukir kenangan demi kenangan yang bila ku ingat semakin membuat ku sakit dan khawatir jika sebentar bertemu dengannya aku malah diam dan tak bisa berucap kata. Sampai...

“Ada apa ?” ia segera duduk, menaruh tasnya. Ia sedikit basah.
Dada ku semakin berdesir, aku hampir tidak berani berbicara sambil menatap matanya. Tapi, aku harus mengatakannya, harus. Aku tenang seperti tak punya beban, tapi jika saja ia mau melihat ku, melihat lebih dalam ke arah mata ku, ia pasti tau bahwa aku tidak se-tenang itu, aku memegang tangan cangkir kopi itu, semakin kuat aku memegangnya pertanda betapa tidak mudah untuk mengatakan hal ini.

“Aku tau ini tidak akan mudah, hanya saja jika aku tidak segera mengatakannya, semua akan jauh lebih rumit. Dan aku tidak menginginkannya.”

“Lalu ? sebenarnya ada apa ? aku tidak mengerti perkataan mu...” ia terlihat bingung, bingung sekali hingga membuat ku semakin tidak berdaya melanjutkannya.

“Maafkan aku, jika ini menyakitimu... aku... maksudku kita, sampai disini saja. Aku sudah jenuh dengan segala cerita kita, aku bosan menghadapi tingkah mu, aku lelah dengan semuanya... mungkin sudah saatnya, sudah saatnya untuk kita mengakhirinya. Bukankah selalu ada akhir di setiap awal ? maaf Rani, maaf untuk keputusan ku ini. Terima kasih untuk 3tahun terakhir ini. Aku percaya, kku akan mendapatkan pria yang lebih pantas untukmu. percayalah padaku...
Hening.
Hening.
“Aku masih tidak mengerti, kita masih baik-baik saja hingga kemarin. Lantas apa yang membuat mu mengatakan ini pada ku ? jelaskan pada ku alasannya, biar aku mengerti.”
“Kau tidak mendengar perkataan ku ? aku bosan dan terlalu lelah. Ku mohon mengertilah...”
Hening.
Hening.

“Baik...”

Ia lalu berlalu begitu saja. Disini, aku masih memegang tangan cangkir itu dan menatapnya. Aku hanya tidak kuat untuk menatap kepergian, Rani. Benar-benar tidak kuat.

“Percayalah pada ku, Rani. Bahwa sampai detik ini dalam hidup ku yang rumit ini, kalimat yang ku ucapkan padamu tadilah yang paling berat ku keluarkan dari mulut ku, mulut ku yang tak pernah bosan mengatakan “Aku mencintai mu...”. aku tidak pernah menyangka akan mengatakan ini padamu, sakit sekali, Rani. Sakit hingga ingin mati saja. 
Bagaimana mungkin ini mudah, aku menunggu mu selama 2tahun, lalu akhirnya bersama mu selama 3tahun juga, dengan perasaan seperti itu, percayalah melepas mu adalah hal yang tidak ingin ku lakukan dalam hidup ku.
Aku tahu tadi kau ingin sekali menangis, aku tahu saat kau menggigit bibir mu itu pertanda bahwa kau sangat dengan kuat menahan pedih, tapi juga takut menjatuhkan airmata mu, aku juga tahu saat kau membalikan badanmu lalu berlalu ada tangis sendu yang memecah wajahmu. aku tahu ini sangat berat untukmu. tapi, percayalah, aku juga merasakan hal yang samma, bahkan lebih sakit dari yang bisa kau bayangkan. Aku memang tidak menangis, tapi, hatiku... sakit sekali hingga nafas ku terasa sesak di dada. Tapi, apalah daya ku saat ini, kita saling mencintai tapi ibu juga ayah mu, dua orang yang juga begitu mencintai dan menginginkan yang terbaik untuk mu melarang kita untuk bersama. Menurut mereka, aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, aku tidak tahu bahagia seperti apa yang orangtuamu dambakan.

Bukan, aku melakukan ini bukan karena sudah tidak mencintai mu. justru karena terlalu mencintai mu, aku melakukan ini. Aku hanya ingin kau bahagia seperti harapan orangtua mu. aku mencintaimu, Rani. Masih seperti dulu.

Aku pernah menonton drama tentang percintaan terlarang seperti ini. Memang menyakitkan. Tapi dibanding menyaksikannya, jauh lebih sakit dan membuat luka saat mengalaminya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar