Siang itu kampus terlihat sepi, biasanya jam segini banyak sekali mahasiswa yang berkeliaran di seluruh penjuru kampus dengan kegiatannya masing-masing. Mungkin karena cuaca yang tidak mendukung. Yaa, hujan baru saja reda, yang tersisa hanyalah gerimis kecil yang cukup membuat basah jika berjalan dibawahnya tanpa perlindungan.
Aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiswa yang mendadak menghilang hari ini. Tapi, sayang aku harus datang ke kampus karena ada tugas yang harus dikumpulkan sore ini sebelum Ashar. Sekarang sudah pukul 14.47 WITA.
Ku susuri jalan menuju gedung fakultas ku dengan setengah berlalri, berlindung dibawah jas almamater yang semenjak tadi sudah ku jadikan payung. Jarak untuk sampai ke gedung fakultas sudah lumayan dekat tapi ku hentikan langkah ku untuk sekedar melihat apakah yang duduk disudut sana itu, temanku. Ternyata benar, penglihatan ku memang selalu benar. Itu, Nina.
Sahabat ku, Nina namanya. Sahabatku sejak SMA dulu. Kebetulan kami berada dalam satu wadah pendidikan yang sama, lagi. Hanya saja, Nina adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 4 dan aku mahasiswa FISIP dengan semester yang sama. Walaupun tidak berada di gedung yang sama, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk sekedar makan ataupun ngobrol bersama. Sampi saat ini, itulah yang menjadi kebiasaan kami di kampus. Nina dulu adalah orang pertama yang ku kenal saat SMA, dia adalah orang pertama yang dengan senang hati mengulurkan tangannya ketika aku mengatakan “Hai…”, dia juga selalu menjadi orang pertama yang ingin ku tanyakan pendapatnya jikalau ada sesuatu yang mengganjal dipikiran ku. Dan samapi sekarang, masih seperti itu. Nina adalah gadis terbaik yang pernah kutemui saat itu hingga sekarang, dia cantik, senyumnya menawan, ramah dan cukup pintar. Aku sampai bingung, ibunya makan apa sampai bisa melahirkan anak sebaik dan sepintar dia.
Ku rasa sudah cukup bercerita tentang Nina.
Aku melanjutkan langkah ku, kali ini bukan untuk ke fakultas tetapi ke tempat dimana Nina duduk dengan buku-bukunya.
“Hei, serius bener. Ngapain sih sendirian disini?” aku memulai basa-basi ku.
“Ah, kamu res. Biasalah…” jawab Nina dengan masih membaca bukunya.
Aku memang tau kebiasaannya, kalau kelas sudah selesai, Nina pasti mencari tempat nyaman selain perpustakaan untuknya membaca buku. Aku juga tidak mengerti kenapa Nina tidak pernah membaca buku di perpustakaan, selain dia tidak mengatakannya, aku juga tidak bisa menerka alasannya. Tapi, ini salah satu alasan mengapa aku ber-empati kepadanya, Karena ia berbeda dari gadis lain sebayanya yang menghabiskan waktu dan uangnya di Mol. Bukan karena dia tidak punya uang, jujur saja Nina adalah anak salah satu konglomerat di Indonesia, ibunya seorang pengcara. Hanya saja, mereka sudah bercerai sejak Nina kelas 3 SMP. Iyaa, nina adalah salah satu dari sekian banyak anak broken home. tapi itu lantas tidak membuatnya terjerumus pada lingkungan pelarian yang banyak anak-anak lainnya lakukan. Ia cukup dewasa menangani masalah itu, dan ini juga salah satu mengapa aku ber-empati padanya. Ada banyak alasan mengapa aku ber-empati padanya.
Sejak SMA, kami memang sudah dekat oleh karena itu aku tau banyak tentangnya. Dia juga tau banyak tentang ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar