“Kamu sendiri ngapain disini?” ia mulai bertanya padaku.
“Ah ini, aku mau memasukan tugas. Hari ini hari terakhir pengumpulannya” balas ku sembari membuka-buka buku yang dibawa Nina.
Setelah itu, suasana menjadi hening, cukup lama sehingga aku merasa bosan dan memutuskan untuk meninggalkan Nina dan segera mengantarkan tugas ku pada ketua tingkat kelas ku.
45 menit kemudian aku kembali ditempat yang sama, Nina masih ada, disana.
“Belom pulang, Nin?” tanya ku.
“Aku sedang menunggu, seseorang...” jawabnya dengan santai dan menutup buku yang sedari tadi dibacanya.
“Siapa?” tanya ku dengan sedikit kaget, Nina sedang menunggu seseorang, bathinku.
“Teman ku, aku janji akan pulang dengannya. Maaf ya, aku hari ini absen dianterin kamu dulu, gapapa kan?” Jawabnya, selalu saja dengan tersenyum. Aku tidak mengerti mengapa Nina selalu tersenyum seperti itu, dia tidak tahu, senyum itulah yang selalu membuat hatiku berdebar dan pernah sekali tak bisa ku bendung degupannya.
“Oh, oke. Aku juga mungkin masih akan lama disini...” balas ku.
Ponsel Nina berdering, sepertinya ada pesan masuk, dan benar saja. Setelah membaca pesan itu, Nina pamitan pada ku untuk pulang duluan. Aku mengiyakan sembari bertanya dalam hatiku.
“Ini tidak biasanya, siapa orang yang ditunggu Nina? Siapa yang berjanji pulang dengannya? Teman perempuankah? Atau seorang lelaki?” ah, aku benar-benar tidak tahu. Sesaat kemudian, lamunan ku buyar oleh suara dari arah belakang ku yang meneriakkan namaku.
****
(Sudut pandang, Nina)
“Kita mau kemana?” tanyaku dengan wajah ceria.
“Seperti janji kemarin, kita nonton dulu, eh tapi kamu udah makan?” tanya orang itu.
“Jujur saja, cacing-cacing di perutku sudah berdemo dari sejam yang lalu...” jawab ku sedikit bercanda.
“hahaha, kalau begitu kita makan dulu, setelah itu baru nonton. Aku tidak mau kau mengacaukan seisi bioskop dengan berteriak sakit perut karena belum makan siang ini”
Lalu kami tertawa dalam hening yang kami ciptakan sendiri.
****
“Thanks buat hari ini, ya...” ucap ku kepada orang itu.
“Sama-sama, aku juga makasih sama kamu.” jawabnya dengan senyuman. Ah aku menyukai senyuman itu. Senyum yang selalu ingin ku lihat sejak semester kemarin. Aku, menyukai orang itu.
Dia lalu pamit pulang, aku pun masuk, kedalam rumah ku yang besar ini, rumah ku yang selalu sunyi, rumah ku tempat ibu dan aku melewati tahun ke tahun sejak perceraian itu. Hanya ada aku, Ibu dan juga orang-orang yang ku hormati, Bibi yang setiap harinya membuatkan aku dan ibu sarapan dan makan malam, juga merawat rumah ini, Pak Imin yang setiap harinya membersihkan halaman rumahku, dan juga Pak Salim yang menjadi supir kemanapun ibu dan aku pergi.
Ibu selalu mengajarkan ku untuk selalu menghargai dan menghormati mereka, ibu pernah berkata “Jangan pernah kamu melihat mereka sebagai pembantu dirumah ini, lihatlah mereka sebagai orang tua seperti ibu yang harus kau hormati”. Ibu memang wanita yang baik, aku bahkan tidak mengerti mengapa perceraian itu terjadi. Tapi, ku putuskan untuk tidak memikirkannya lagi, karena aku tahu ada hal yang memang mungkin tidak akan dimengerti oleh pikiran ku.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar