“Ayah, bangun ayah. Aku tahu kau hanya terlelap, aku tahu kau hanya tidur untuk melepas lelah mu, aku tahu kau hanya beristirahat diranjang mu ini. Bangun, ayah. Bangunlah dulu walau hanya sejenak, aku ingin menyampaikan sesuatu pada mu. AYAH, KU MOHON, BANGUNLAH! AYAH!”
Begitu yang diucapkan oleh pria itu, pria yang kucintai sambil terisak tersedu-sedu pada raga ayahnya yang kini kaku membisu dan tak bernafas lagi diranjangnya. Aku tahu betul ia berkata seperti itu untuk menguatkan dirinya, berusaha memalsukan kenyataan hanya agar bathinnya tetap tegar hanya agar bathinnya tetap tegar. Tapi, kenyataan terlalu kuat untuk dilawannya sendiri. Ayahnya memang sudah tiada saat aku dengannya samapi dirumahnya. Diluar langit gelap juga hujan, aku tahu persis kondisi hati pria itu seperti cuaca diluar jendela kamar itu.
Sejadi-jadinya ia menangis sebagai bentuk penolakan terhadap kenyataan yang begitu pilu ini. Masih ku ingat beberapa hari yang lalu, didepan mataku ia bertengar hebat dengan ayahnya. Pasti sekarang hatinya hancur sekali, mengingat tak sempat ia mengutarakan sepatah katapun pada ayahnya sebelum akhirnya beliau pergi. Tentu saja pergi untuk tidak pernah kembali. Belum pernah ku lihat pria yang kucintai ini seperti ini, selama bertahun kami merajut kisah cinta, tidak pernah seklaipun aku melihat matanya basah oleh airmata. Tapi, hari ini, aku sadar betapa ia juga hanya seorang manusia biasa yang bisa menangis saat pertahanan hatinya sudah tidak mampu meredam sakit yang begitu menghantam. Betapa ia tidak seperti batu, dan betapa rapuhnya ia sesungguhnya di dalam hati.
Ku tenangkan dirinya, ku sandarkan kepalanya pada bahu ku. Agar ia merasa tangisnya juga tangis ku. Karena aku mencintainya, dan kami saling berbagi rasa cinta itu.
Hujan diluar belum juga berhenti, kami masih berduka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar